TEMPO Interaktif, Jakarta: Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengusut kembali kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Menurut ICW, vonis terhadap Artalyta bisa menjadi pintu masuk pengusutan kasus yang merugikan negara Rp 144 triliun.
"Kasus Artalyta membuktikan adanya suap dalam kasus BLBI," kata Wakil Koordinator ICW, Danang Widoyoko, saat dihubungi, Rabu (20/8/2008).
Danang menduga, Artalyta bukan korban pemerasan jaksa Urip Tri Gunawan. Menurut dia, uang sebesar yang diserahkan kepada Urip adalah suap agar kejaksaan bisa "cingcay". Caranya, kejaksaan menempuh mekanisme perdata dalam menyelesaikan kasus BLBI Sjamsul Nursalim. Danang menjelaskan, dalam kasus Sjamsul ada unsur perbuatan melawan hukum dan unsur kerugian negara. "Artalyta ingin unsur kerugian negaranya saja yang diselesaikan, unsur pidananya dihilangkan," katanya.
Menurut Danang dugaan itu semakin menguat bila merujuk pada auidit Badan Pemeriksaan Keuangan. Menurut dia, audit BPK jelas-jelas memperlihatkan adanya kerugian negara dan penyalahgunaan wewenang.
Komisi Antikorupsi, kata dia, juga bisa masuk ke kasus tersebut lewat dugaan pemerasan yang dilakukan Urip terhadap bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Glenn Yusuf. "Kenapa Glenn mau menyerahkan uang? Ini, kan, aneh," ujar Danang. Dia menduga serah terima aset obligor BLBI yang dilakukan pada masa Glenn di BPPN itu sarat dengan manipulasi.
Dengan sederet fakta-fakta itu, ICW menilai, kasus BLBI sudah tak bisa ditangani lagi oleh kejkasaan. "Dengan serentetan kasus yang mendera kejaksaan, bagaimana masyarakat mau percaya lagi?" katanya. "Jaksa semestinya jadi pengacara negara, bukan pengacara obligor."
ANTON SEPTIAN