TEMPO Interaktif, Jakarta: Usia Sulistiono tidak muda lagi. Rambutnya sudah dibalut uban. Namun Lis Ciblek--begitulah bapak empat anak itu dipanggil--tetap lincah dan bugar, setidaknya untuk ukuran pemain Sandur dengan peran kalong (kelelawar). Untuk peran ini, pemain harus lincah berjumpalitan di tali laso sebesar jempol kaki yang dikaitkan pada dua bambu setinggi 15 meter.
Sulistiono dipanggil dengan sebutan Lis Ciblek karena postur badannya memang kecil dengan tinggi sekitar 150 centimeter. Meski demikian, orang-orang akan berdecak kagum ketika Lis Ciblek mulai memainkan perannya.
Hal itu terlihat pada pentas yang digelar di Alon-Alon Bojonegoro, Sabtu dua pekan lalu. Sekitar 200 penonton yang melingkar di arena berdecak kagum saat Lis Ciblek berlarian mengitari arena berbatas tali rapia berukuran 7 x 7 meter.
Dalam hitungan detik, tubuhnya membungkuk di depan bambu. Raut mukanya serius. Mulutnya komat-kamit seperti membaca sesuatu. Mbah Sukadi, 77 tahun, pawang Sandur, yang ada di sebelahnya memegang kepala Ciblek.
Asap dari dupa mengepul. Seorang lelaki tua yang kerasukan tampak berputar-putar dengan jaran kepangnya. Ritual bernuansa magis itu diiringi gendang dan gong bumbung. Boomm!
Sandur atau lengkapnya Sandur Kalongking alias kelelawar merupakan kesenian yang sudah berkembang lama di Bojonegoro. Tak jelas dari mana asal muasal kesenian ini. Dalam sarasehan Sandur di Bojonegoro beberapa waktu lalu, ada yang mengatakan bahwa kesenian ini berasal dari Tuban, Bojonegoro, dan Lamongan. "Belum ada parameternya," kata Yusuf Susilo Hartono, penulis dan pengamat kesenian daerah asal Bojonegoro.
Biasanya, kesenian Sandur tampil pada hari-hari tertentu, misalnya pada acara pasca panen atau pada upacara tertentu di makam-makam yang dituakan. Pesan yang disampaikan pun sederhana, yakni soal permintaan kemakmuran kepada leluhur.
Di zaman Orde Baru, kesenian ini sempat timbul-tenggelam. Alasannya, Sandur dianggap memiliki kedekatan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra (organisasi seniman under bow Partai Komunis Indonesia/PKI).
Namun, pada era 1980-an, kesenian ini kembali muncul, meski tak lama. Sebab, waktu itu, para pemuka agama Islam melakukan protes. "Mereka menganggap kesenian ini sebagai pemuja setan," kata Suyitno, 49 tahun, salah seorang pemain Sandur asal Ledok Kulon, Bojonegoro.
Di Bojonegoro, kesenian Sandur kini sudah langka. Dulu ada tiga perkumpulan yang mementaskan Sandur. Kini hanya ada satu perkumpulan dan mereka menetap di Ledok Kulon.
Sujatmiko