TEMPO Interaktif, Jakarta:
Kejaksaan Agung menyatakan tak akan membuka lagi kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terkait dijatuhkannya vonis terhadap Urip Tri Gunawan. “Ada atau tidak ada Urip, penyelidikan kasus BLBI pasti dihentikan,” kata Jaksa Agung MUda Tindak Pidana Khusus, Kemas Yahya dia di kantornya, Jumat (5/9).
Pada Juni 2007 kejaksaan membentuk tim untuk menyelidiki kasus BLBI. Sebanyak 35 orang jaksa ditugaskan untuk menangani dugaan korupsi dana BLBI sebesar Rp 144,5 triliun yang dikucurkan ke 48 bank. Pada 29 Februari 2008 tim yang diketuai Urip itu dibubarkan dengan hasil penyelidikannya nihil. Dua hari kemudian, pada 2 Maret 2008, Urip ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi dengan barang bukti udang senilai US$ 660 ribu.
Menurut Marwan, tim yang dikenal dengan sebutan Tim Jaksa 35 itu berkeinginan mengungkap kesalahan dalam penafsiran aset para obligor. “Mereka mengira aset ditaksir oleh para obligor,” ujarnya. Padahal, kata dia, penafsiran aset merupakan kewenangan pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional. “BPPN-lah yang menunjuk auditor independen untuk menafsirkan aset,” katanya. “Kalau penyelidikannya masuk ke wilayah itu, ya, pasti mentok.”
Satu-satunya jalan bagi kejaksaan untuk membuka kembali kasus BLBI, kata Marwan, adalah perintah dari Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terkait gugatan praperadilan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang meminta Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Sjamsul Nursalim dicabut. Pada Mei lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan penyidikan terhadap Sjamsul Nursalim dalam kasus BLBI harus dilanjutkan. Kejaksaan saat itu menyatakan banding atas putusan hakim.
“Kami menunggu putusan pengadilan tinggi,” kata Marwan. Tapi, lanjut dia, seandainya Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memerintahkan penyidikan dilanjutkan, hal itu akan terbentur undang-undang yang ada. Beleid yang dimaksud Marwan adalah Tap MPR Nomor X/MPR/2001, Tap MPR Nomor VI/MPR/2002, Undang-Undang nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002. Semua beleid itu, kata Marwan, membolehkan obligior untuk menyelesaikan kewajibannya di luar pengadilan.
ANTON SEPTIAN