TEMPO Interaktif, Jakarta:Beberapa ahli dari berbagai bidang ilmu tidak setuju dengan hukuman mati dengan cara ditembak. Alasannya, hukuman tersebut dinilai menyiksa seseorang sebelum meninggal. Namun, mereka tidak satu suara cara hukuman terpidana mati yang paling tepat.
Ahli bedah Jose Rizal mengatakan, eksekusi mati dengan menembak jantung kemungkian bisa meleset. “Kalau tepat, jantung akan pecah dan segera meninggal. Tapi, kalau hanya menyerempet perlu waktu untuk meninggal,” kata Jose Rizal, saat memberi keterangan di Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis(18/9).
Saksi Romo Charlie Burrows, rohaniawan yang mendampingi eksekusi mati Hansen Anthony Nwaolisa di Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, 26 Juni 2008 lalu mengatakan, terpidana tidak langsung meninggal usai ditembak. Hansen mengerang kesakitan selama tujuh menit. Dokter menyatakan dia meninggal tiga menit kemudian. “Jadi totalnya ada 10 menit,” ujar dia.
Menurut ahli anestesi Sun Sunatrio, eksekusi dengan suntikan mati lebih nyaman dengan cara hukuman mati lainnya. Namun, proses suntik mati butuh waktu lama dan ada kemungkinan salah menyuntik. Setelah dibuat pingsan, terpidana disuntik dengan obat untuk melemaskan ototnya. Baru setelah itu disuntik untuk menghentikan fungsi jantung. “Ada kemungkinan dia masih sadar, waktu denyut jantung berhenti sakit sekali kayak orang sakit jantung,” ujar dia.
Mereka memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 2/PnPS/1964 tentang Tata Cara Hukuman Mati di Mahkamah Konstitusi. Pemohon mengajukan empat ahli yakni Sun Sunatrio, Jose Rizal, ahli dari Majelis Ulama Indonesia Mudzakir, dan ahli pidana Rudy Satrio.
Ketika ditanya majelis hakim kontitusi mengenai hukuman mati yang tidak menyiksa, mereka memberi jawaban berbeda. Sun memilih hukuman mati dengan cara suntik mati. “Resikonya kecil,” ujarnya. Sedangkan Jose Rizal memilih cara gantung dan pancung. Ahli dari Majelis Ulama Indonesia Mudzakir mengusulkan eksekusi dengan cara di pancung.
Terpidana bom Bali, Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Gufron mengajukan hak uji materi Undang-Undang Tata Cara Hukuman Mati ke Mahkamah Konstitusi. Mereka meminta mahkamah membatalkan ketentuan eksekusi mati dengan cara ditembak karena dinilai menyiksa terpidana.
Sutarto