“Mereka tidak terpusat di satu tempat, tapi menyebar,” kata Aziz di kantornya, Jakarta, Senin (22/9).
Komisi, kata Aziz, tak mengetahui penyebaran tunanetra. Data kependudukan yang dimutakhirkan juga tak menyatakan seorang pemilih merupakan tunanetra. “Kami sulit mengetahui pemilih tunanetra ada di TPS (tempat pemungutan suara) mana saja,” katanya.
Selain itu, biaya yang diperlukan untuk membuat surat dengan huruf braile juga lebih mahal ketimbang surat suara biasa. Aziz mengaku tak mengetahui pasti harga surat suara dengan huruf braile. “Pasti lebih mahal karena menggunakan huruf braile,” katanya.
Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum berencana mengadakan surat suara khusus tunanetra. Surat suara ini akan dilengkapi dengan huruf braile yang akan memudahkan pemilih tunanetra memberi tanda dalam Pemilihan 2009.
Menurut Aziz, bisa saja surat suara khusus tunanetra diadakan. Tapi, surat suara yang diadakan hanya untuk calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Alasannya, jumlah calon anggota DPD relatif lebih sedikit dibanding jumlah anggota DPR danDPRD di tiap daerah pemilihan.
Ketua Komisi, Abdul Hafiz Anshary, mengatakan lembaganya belum mengambil keputusan mengadakan suara khusus tunanetra. Pengambilan keputusan itu akan dilakukan dalam rapat pleno Komisi. “Tapi memang sepertinya mengarah untuk tidak mengadakan surat suara khusus,” katanya.
Komisi, kata Hafiz, kemungkinan akan tetap mengacu pada Undang-undang No 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif. Undang-undang itu menyebutkan, pemilih tunanetra dibantu oleh petugas tempat pemungutan suara atau oleh orang yang ditunjuk.
Hafiz mengatakan lembaganya sebelumnya telah bertemu dengan organisasi penyandang cacat. Organisasi itu meminta Komisi membolehkan tunanetra mencoblos, tidak memberi tanda seperti yang tercantum dalam Undang-undang Pemilihan. “Tapi kalau beda dari yang lain (menandai), pilihan tunanetra itu justru akan diketahui banyak orang. Padahal, yang dipilih kan sifatnya rahasia,” katanya.
Pramono