TEMPO Interaktif, Jakarta: Bukit Wonobodro adalah bukit yang menjulang 700 meter di atas permukaan laut di Desa Wonobodro, Kecamatan Blado, Kabupaten Batang. Panorama kawasan seluas 75 hektare ini sangat indah. Pohon-pohon menghijaukan kawasan perbukitan ini. Suhu udara yang adem bakal langsung terasa begitu kita memasuki kawasan ini.
Tapi bukan adem dan indahnya pemandangan yang membuat masyarakat berduyun-duyun mendatangi bukit ini. Di sini terdapat makam yang diyakini adalah makam tokoh penyebar agama Islam, Sunan Maulana Malik Ibrahim atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy atau biasa dikenal sebagai Syekh Maghribi. Ada beberapa makam lain yang juga diyakini makam Syekh Maghribi, yaitu yang ada di Gresik, Pemalang, dan Yogyakarta.
Di bukit Wonobodro ini juga terdapat makam Ki Ageng Wonobodro atau yang biasa disebut sebagai Ki Ageng Pekalongan karena beliaulah pendiri Kota Pekalongan.
Meski lokasinya cukup jauh, yakni di selatan Batang, sekitar 27 kilometer ke selatan dari lereng Gunung Slamet, orang yang datang ke tempat ini cukup banyak. Biasanya saat memasuki bulan puasa dan Lebaran, Bukit Wonobodro dikunjungi ribuan orang. Tapi paling banyak pada 13 Muharam, tanggal wafatnya Syekh Maghribi. "Mereka banyak yang datang dari luar Kota Batang," tutur Kasdu'i, pengelola serta juru kunci pemakaman dan petilasan Wonobodro.
"Kami cinta kepada wali Allah, penyiar agama Islam di Pantura," kata Maskuri, peziarah dari Sapuri, Pekalongan, saat menjelaskan alasan kedatangannya. Pria 40 tahun itu datang bersama rombongan.
Tapi ternyata tak hanya karena cinta kepada wali Allah para peziarah membanjiri Wonobodro. Menurut Maskuri, banyak peziarah memiliki motif lain. "Banyak juga peziarah yang punya keinginan, dengan berdoa di sini, biasanya terkabul," katanya.
Menurut Maskuri, Syekh Maghribi merupakan orang suci yang dekat dengan Allah. Kehadiran peziarah di sini merupakan bagian dari upaya memohon, dan Syekh sendiri sebagai perantara untuk menggapai keinginan para peziarah.
Kasdu'i membenarkan anggapan bahwa peziarah banyak yang datang karena ada kebutuhan. Bahkan menurut Kasdu'i, banyak peziarah yang menginap untuk mendapatkan ilham atau semacam peringatan dari Syekh. "Peziarah menginap beberapa hari," katanya.
Syekh Maghribi adalah tokoh penyebar agama Islam sebelum masa Wali Songo. Putra ulama Persia, Maulana Jumadil Kubro, itu datang dari negeri Champa (Kamboja) ke Jawa sekitar tahun 1400-an. Dialah pendiri pesantren pertama di Jawa.
Karisma tokoh penyebar agama Islam itu dikenang oleh masyarakat Pantai Utara hingga sekarang. Masyarakat Islam pesisir Pantura meyakini doa yang dipanjatkan di makam Syekh kemungkinan besar akan terkabul. Bahkan tak hanya masyarakat biasa, politikus dan pejabat pun berziarah ke tempat ini.
Menurut Kasdu'i, banyak pemimpin Jawa Tengah yang mengunjungi tempat ini. Bahkan saat ramai pencalonan gubernur beberapa waktu lalu, ada salah seorang calon yang sengaja datang ke Bukit Wonobodro.
Sukses dalam karir setelah mengunjungi tempat ini diakui oleh Hari Purwanto, salahseorang peziarah dari Blitar yang sudah 52 hari berada di Bukit Wonobodro. Ia datang untuk melakukan napak tilas perjalanan Syekh dan ingin mengetahui masa depan kepemimpinan nasional. "Saya disuruh oleh seseorang," kata Hari tanpa bersedia menyebutkan siapa yang menyuruh.
Kepercayaan Hari terhadap Syekh Maghribi sebagai tokoh yang sukses melahirkan pemimpin diawali oleh kisah Syekh yang bertemu dengan Dewi Roso Wulan atau adik Sunan Kalijaga. "Saat itu, Roso Wulan bertapa ngidang kungkum atau berendam karena sedih oleh kerinduan Sunan Kalijaga yang diusir ayahnya," tutur Hari.
Konon, dari pertemuan itulah Dewi Roso kemudian hamil dan mengandung anak yang kemudian dikenal sebagai Jaka Tarub. Lalu, Joko Tarub menikahi Dewi Nawang Wulan dan melahirkan seorang pemimpin di Jawa. "Dari cerita itu, saya menjalani ritual napak tilas di sini," kata Hari.
Selain makam Syekh Maghribi dan Ki Ageng Pekalongan, di kawasan ini juga terdapat pancuran yang diyakini sebagai tempat Syekh Maghribi mengambil air wudu. Masyarakat yakin air itu berkhasiat. "Banyak yang mengambilnya untuk obat," kata Kasdu'i.
Juga, di sana ada tanaman yang dianggap keramat oleh warga sekitar, yakni Pohon Jlamprang. Menurut Kasdu'i, pohon tersebut adalah tongkat Syekh Maghribi yang ditancapkan saat hendak melakukan ritual salat. "Begitu lamanya salat Syekh sampai-sampai tongkatnya tumbuh menjadi tanaman," Kasdu'i menjelaskan.
Hingga kini, warga melestarikan pohon tersebut. Bahkan mereka melarang pengunjung mengambil kayu dari pohon itu. "Mencegah penyalahgunaan berbau mistik," kata Kasdu'i. Tapi, di antara warga yang berdatangan, masih ada sebagian orang yang melakukan aktivitas berbau mistik.
Edi Faisol