TEMPO Interaktif, Jakarta: Karya-karya penyair Palestina, Mahmoud Darwish, Minggu malam lalu dibacakan oleh sederetan penyair Bali. Mereka antara lain Tan Lio Oei, Made Adnyana Ole, Pranita Dewi, Wayan Sunarta, dan Kadek Sonia Piscayanti.
Menurut Janet De Neefe dari "Ubud Writes & Reader Festival", yang menyelenggarakan acara itu, pada malam yang sama di berbagai penjuru dunia, karya Mahmoud Darwish dibacakan secara bersamaan. "Di kalangan sastrawan, hari ini telah ditetapkan sebagai hari untuk sang penyair," ujarnya.
Seruan untuk melakukan pembacaan atas karya-karyanya diprakarsai oleh festival sastra "Berlin International Literature Festival".
Darwish telah dikenal sebagai penyair internasional dengan seruan cinta dan kemanusiaan dalam bahasa yang dapat menyentuh semua orang. Ia lahir di Desa Barweh Galilea, yang diratakan dengan tanah pada saat pendirian Israel pada 1948.
Darwish kemudian mengungsi ke Libanon dan melanglang buana ke sejumlah negara sampai akhirnya ia wafat pada 9 Agustus 2007 dalam usia 67 tahun. Selama masa hidupnya, ia menerbitkan lebih dari 30 kumpulan puisi dan 8 buku prosa yang telah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa.
Palestina, bagi Darwish, menjadi metafora bagi taman firdaus yang hilang, kelahiran dan kebangkitan kembali, serta pedihnya keterasingan dan ketercerabutan. Dalam sebuah wawancara, Darwish menyatakan, "Puisi bisa melawan dengan mengukuhkan keterikatannya pada kerentanan manusia seperti sehelai rumput yang tumbuh di tembok selagi tentara-tentara lewat."
Setelah membacakan karya Darwish, Pengepungan, yang bercerita tentang kondisi pengungsi Palestina saat 6 bulan dikepung tentara Israel, penyair Tan Lio Oei mengaku dapat merasakan kekuatan di balik rangkaian kata-kata dan metafora yang disusun sang penyair. "Seperti kemarahan yang diletupkan sebagai energi estetik," ujarnya.
Ia percaya kata-kata itu bisa menjangkau ke wilayah yang lebih luas, bukan hanya di kalangan bangsa Palestina. "Bahkan mungkin di pihak yang berlawanan," ujar Oei. l
Rofiqi Hasan