"Dari hasil penelusuran kami sepanjang 2008 ini, ternyata banyak industri batik yang membuang limbahnya ke sungai tanpa melewati proses pengolahan," jelas Setyo Dwi Herwanto, koordinator PATTIRO, Selasa (14/10). Sungai yang biasa dijadikan tempat pembuangan limbah adalah Kali Premulung yang melewati sisi selatan Surakarta hingga berakhir di Sungai Bengawan Solo.
Hasil akhirnya, sungai-sungai di Surakarta banyak yang tercemar hingga mengakibatkan kualitas air memburuk. "Kami melihat sendiri, saat pagi dan sore hari, air sungai berubah menjadi hitam dan merah. Itu bahan kimia batik," kata Setyo.
Masyarakat sekitar Laweyan banyak yang mengeluhkan kualitas air sumur mereka. Ada penduduk yang gatal-gatal dan iritasi kulit. "Bayangkan jika air seperti itu diminum," tambah Setyo.
Dia mengaku sempat masuk ke salah satu industri tersebut, dan menemukan ada limbah yang diolah dan ada yang dibuang langsung ke sungai. Pengolahan limbah pun, lanjut Setyo, belum maksimal. "Idealnya satu industri punya satu Instalasi Pengolahan Air Limbah," tuturnya.
Di Laweyan, satu Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dipakai beramai-ramai. Bahkan home industry tidak memiliki IPAL. "Alasannya klasik, dana," kata Setyo yang menambahkan program-program dari Kantor Lingkungan Hidup seputar penanganan limbah belum optimal.
Kepala Kantor Lingkungan Hidup Surakarta Supono membantah temuan PATTIRO. "Tidak ada pencemaran di sekitar Laweyan. Semua memiliki IPAL yang memadai," tegas Supono.
Saat dikonfirmasi tentang home industry yang belum memiliki IPAL, Supono tidak membantahnya. "Memang masih ada yang belum punya (IPAL). Tapi terus kami sosialisasikan untuk melengkapinya," ujarnya.
Kantor Lingkungan Hidup Surakarta tidak memberikan dana khusus bagi home industry. "Itu tanggung jawab mereka. Jika masih tidak memiliki IPAL, akan kami lihat bentuk pelanggaran dan tingkat pencemarannya. Tidak bisa serta merta ditutup," tandasnya.
Sementara itu, Ketua Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan Alfa Fabela mengatakan IPAL yang ada di Laweyan memang belum bisa menampung 45 industri batik di Laweyan. "Hanya sebagian saja. Lainnya membuat IPAL sederhana secara mandiri," ungkapnya.
Dia mengakui proses pengolahan limbah di Laweyan memang belum maksimal. "Tapi kami sudah berusaha mengatasinya," lanjutnya.
Menurut Alfa, persoalan limbah di Laweyan tidak semata-mata salah pengusaha batik. Limbah, tambahnya, juga berasal dari kampung-kampung di utara Laweyan. "Geografis yang rendah membuat limbah tersebut terakumulasi di Laweyan. Sehingga seolah-olah kamilah penghasil limbah di Kali Premulung," tandasnya.
Ukky Primartanyo