TEMPO Interaktif, Jakarta: Kertas berukuran 54 x 60 sentimeter itu sudah menguning. Imaji yang tersaji di atas kertas itu sungguh menawan. Jika diperhatikan sekilas, yang tampak hanyalah susunan dedaunan, pohon, kupu-kupu, burung bangau, ikan, dan kepiting. Namun, yang sebenarnya disajikan oleh sang pelukis, Ida Bagus Made, lebih dari itu.
Ida mencoba mendeskripsikan sebuah dongeng binatang yang hidup di Ubud, Bali, yakni tentang bangau licik yang memangsa ikan dan kepiting. Si bangau--yang merupakan representasi orang suci--awalnya membujuk ikan dan mengaku bisa memindahkan ikan itu ke tempat yang lebih baik. Nyatanya, ia memangsa ikan. Berikutnya, ia mencoba membujuk kepiting, yang terlihat pada bagian kiri lukisan.
Si kepiting, yang menemukan tulang-tulang ikan, menyadari bahwa bangau tersebut berbohong dan juga berniat memangsanya. Si kepiting melawan, yang disajikan pada gambar di bagian kanan atas. Selanjutnya adalah kepiting membunuh si bangau, yang tersaji pada bagian kanan bawah lukisan.
Lukisan berjudul The Cunning Heron and the Clever Crab itu dibuat pada 1932. Kini lukisan yang dibuat dengan tinta hitam itu bersama 60 lukisan karya seniman lainnya dipamerkan di Erasmus Huis, Jakarta, hingga 23 Oktober mendatang. Semua lukisan yang dipajang dalam pameran bertajuk "Pioneers of Balinese Painting" tersebut merupakan koleksi Rudolf Bonnet, seniman bohemian asal Belanda yang menetap di Bali sejak 1929.
Bonnet dikenal sebagai pendiri Yayasan Pita Maha, bersama pangeran Ubud, Tjokorda Gede Agung Sukawati; sobat karibnya, Walter Spies; dan seniman Bali lainnya. Mereka menyediakan cat, kuas, dan kanvas gratis sembari mengajarkan kaidah-kaidah lukisan modern, seperti komposisi dan perspektif. Bonnet bersama Spies dikenal sebagai pemberi sentuhan modern pada lukisan Bali yang tradisional.
Era 1920-an adalah periode "invasi" pengaruh budaya Barat, yang baru menemukan Bali. Spies dan Bonnet termasuk yang jatuh cinta dan menetap di Bali hingga 1942, ketika Jepang mengusir Belanda. Sepanjang keberadaan mereka di Bali, sejumlah pengaruh mereka tertancap pada seni lukis Bali. Konsep estetika Bali yang terbuka bagi kebudayaan luar membuat pelukis Bali selalu adaptif.
Beberapa perubahan corak lukisan yang terasa adalah pergeseran kisah wayang ke arah imaji-imaji yang realis. Masuknya kaidah anatomi realistis, perspektif sinar, bayang-bayang, serta pergeseran nilai lukisan dari kolektif religius ke individual sekuler mewarnai karya-karya seniman Bali.
Lukisan Ida Bagus Made di atas adalah salah satu contoh persentuhan dua gaya lukis itu. Dongeng yang masih hidup di tengah masyarakat diejewantahkan Ida Bagus Made dalam lukisan yang mengambil latar realis hijaunya kawasan Ubud, tempat ia berkarya.
Selain lukisan bangau dan kepiting itu, lukisan lainnya memperlihatkan pengaruh besar nilai-nilai Eropa pada Bali. Lihatlah misalnya Football Match berukuran 35 x 54 sentimeter karya Ida Bagus Gerebuak, yang melukiskan suasana pertandingan sepak bola. Keramaian, riuh-rendah penonton, hingga orang berjualan di pinggir lapangan menjadi suasana realis yang terekam.
Beberapa lukisan lainnya juga menyajikan kehidupan sehari-hari masyarakat Bali, antara lain mandi bersama, sabung ayam, tarian, dan tak ketinggalan kisah-kisah pewayangan, seperti Bima, Arjuna, Siwa, Wisnu, dan Sutasoma. Semuanya yang dibuat pada periode 1929-1958 itu tersaji dalam detail-detail apik di atas kertas-kertas berukuran mini.
Tito Sianipar