“Perlu ada persiapan khusus, terutama yang berkaitan dengan industri kecil,” kata Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Penanaman Modal Kota Surakarta, Joko Pangarso. Ia mencontohkan industri batik yang menjadi andalan Surakarta memiliki ketergantungan dengan bahan bakar minyak, khususnya untuk proses mencanting.
Karena itu pihaknya akan melakukan kerjasama dengan para peneliti di Universitas Sebelas Maret Surakarta untuk mendesain kompor gas bagi industri ini. “Sebab kompornya memiliki spesifikasi khusus,” ucap Pangarso.
Berkaitan dengan hal tersebut, Ketua Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman, Gunawan Setyawan menyatakan kesiapan untuk beralih energi jika memang program konversi mulai dijalankan. “Toh dalam perjalanan industri batik kita juga kerap kali melakukan pengalihan bahan bakar,” tutur Gunawan.
Ia membenarkan jika para perajin batik, khususnya batik tulis, membutuhkan kompor berspesifikasi khusus yang digunakan untuk mengencerkan lilin atau malam dalam proses mencanting.
“Kompornya tidak membutuhkan nyala yang besar namun stabil,” kata Gunawan. Sedangkan untuk proses pencelupan, para perajin telah banyak justru beralih ke kayu bakar. “Karena minyak tanah sulit untuk didapatkan,” tutur Gunawan, menambahkan.
Gunawan berharap dengan pemakaian gas elpiji hasil produksi akan lebih sempurna jika dibanding dengan menggunakan minyak tanah. “Karena gas elpiji lebih bersih dan cepat panas,” ucap dia.
Namun dirinya juga berharap setelah jalannya program konversi tersebut jangan sampai gas menghilang dari pasaran. “Seperti saat ini misalnya, konversi belum berjalan tapi minyak sudah langka,” katanya.
Ahmad Rafiq