TEMPO Interaktif, Jakarta: Bulan biru tergantung di angkasa. Bumi porak-poranda. Seorang pria dalam balutan pakaian compang-camping muncul. Ia memegang tali yang mengikat setumpuk buku. Ia memanggil Paduka Sang Pencipta, lalu menunggu jawaban.
Monolog Danarto itu berjudul "Keluh Kesah Apel Newton". Ceritanya, pada pengujung 2013, kutub-kutub bumi terbalik. Gravitasi bumi lenyap. Seluruh makhluk terlempar ke angkasa. Yang tersisa hanyalah si pria tersebut.
Tak beroleh jawaban, Danarto bertayamum, lalu salat dua rakaat. Ia menyesali masa hidupnya yang terlalu banyak bercanda, tak seperti istrinya, yang saleh. "Kecil rasanya hamba untuk masuk surga Paduka. Tapi, kalau tidak ada hamba, (surga) sepi," kata Danarto, disambut tawa penonton yang memenuhi Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jumat malam lalu.
Begitulah, monolog Danarto diselingi humor di sana-sini melalui pelesetan hingga penggalan kisah tersendiri. Penontonnya dengan bebas tertawa. Apalagi di akhir kisah, saat Danarto beroleh sedikit kuasa Tuhan. Ia menyihir roti merek terkenal yang meluncur dari langit. "Wah, Paduka tahu saja ini roti kesukaan saya."
Sesi kedua diisi Niniek L. Karim. Ia membawakan "Sepuluh Tahun Kemudian", sekuel dari "Mengapa Kau Culik Anak Kami". Naskah aslinya dibuat oleh Seno Gumira Ajidarma dan lalu muncul di sebuah koran dalam bentuk cerpen.
Niniek memerankan ibu Satria, pemuda yang hilang saat gemuruh pergerakan 1998. Ia lenyap begitu saja tanpa kabar, bersama lenyapnya pemuda lainnya di seantero negeri. Sang Ibu tetap setia menunggu, meski suaminya meninggal beberapa tahun setelah Satria hilang.
Tahun demi tahun berlalu dalam kecemasan akan nasib Satria, dibarengi harapan si anak akan pulang. "Harapan masih ada, apa salahnya. Itulah yang membuatku bertahan," kata Niniek.
Persembahan Putu Wijaya menutup acara malam itu. Monolognya berjudul "Merdeka". Ia tampil ekspresif, eksplosif, humoris, dan penuh improvisasi. Sesekali ia melibatkan penonton, yang antusias merespons.
Putu baru saja mulai bercerita, tiba-tiba pembawa acara masuk ke panggung. "Itulah Merdeka," kata dia membaca judul monolog. Penonton tertawa-tawa saat Putu mengusir si pembawa acara. "Heh, ini udah mulai. Itulah bagian dari korupsi waktu," Putu berseloroh.
Dalam monolognya, Putu menceritakan kisah cucunya, Agus, yang bertanya kepada sang kakek, "Apakah kita sudah merdeka?" Si cucu heran, mengapa orang merdeka masih miskin, masih harus bayar sekolah, ada yang punya banyak mobil dan ada yang hidup susah.
Kisah pertanyaan cucu itu dilanjutkan Putu dengan kisah lain, mengenai seorang tua pemilik burung perkutut yang hendak membebaskan peliharaannya. Alih-alih senang, si burung malah ketakutan. Ia memohon ampun minta tetap ditaruh dalam sangkar. Rupanya, terbiasa hidup di dalam sangkar membuat si perkutut takut dengan keganasan dunia liar.
Ketiga monolog itu begitu memikat. Meski tema dasarnya cukup serius, bumbu humor dan aksi panggung yang menarik serta pelibatan penonton membuat persembahan ketiganya enak diikuti. Dua jam berlalu tak terasa.
Ibnu Rusydi