TEMPO Interaktif, Jakarta: Hubungan antara seni dan politik menjadi jalur yang berbanding lurus. Perkembangan seni rupa dari abad ke abad sering kali mewakili perjalanan politik suatu negara. Kerap kali pula percaturan politik yang alot dengan segala momentumnya menjadi inspirasi perupa di atas kanvas.
Demikian pendapat yang mengemuka dalam diskusi "Seni Rupa
dan Politik" di Komunitas Salihara, Selasa lalu. Diskusi dengan pembicara Jim Supangkat dan Agung Hujatnikajennong itu membahas pameran seni berupa "Dari Penjara ke Pigura", yang dipamerkan di komunitas itu pada 17 Oktober-6 Desember lalu.
Pameran itu, menurut Jim, merupakan salah satu seni yang terinspirasi dari politik. Sebanyak 30 perupa yang terlibat membuat karya berdasarkan kutipan tulisan para pahlawan bangsa. "Kutipan kata para pemimpin mencerminkan saga, cerita kepahlawanan orang yang mau berkorban untuk bangsa," ujar Jim. Sedangkan dalam kutipan, dia melanjutkan, terkandung unsur sagacity, berupa kebaikan yang bertumpu pada kesadaran personal.
Menurut Jim, dalam kondisi politik kini, sagacity sudah menguap. "Gantinya adalah kekuasaan yang arogan dan memihak," ujarnya. Dan pameran ini menunjukkan hilangnya sagacity yang membuat perilaku politisi zaman sekarang sangat berbeda pada masa kemerdekaan.
"Tapi perubahan itu tidak terjadi di dunia seni," ujarnya. Karena, menurut Jim, persepsi mendasar tentang seni dari dulu sampai sekarang menempatkan kebaikan pada posisi utama. "Dan inilah yang mempengaruhi persepsi para seniman," ujarnya. Itu sebuah persepsi kultural yang dipengaruhi oleh perkembangan budaya di Tanah Air.
Dalam diskusi, Agung lebih menyinggung penempatan sistem kuratoral pameran. "Di pameran ini, kurator membebaskan para seniman," ujarnya. Biasanya, kurator hanya memilih dan mengemas karya-karya yang sudah jadi untuk sebuah pameran.
Namun, menurut Agung, alangkah baiknya jika kebebasan yang diusung memberikan penjelasan yang detail tentang kategori atau cara seniman menerjemahkan teks, sehingga bisa menyinggung seni rupa sebagai perlintasan teks itu sendiri. "Jadi, kesannya pameran hanya meringkuk pada politik yang dulu, yang masih dihubungkan dengan sebuah narasi besar, seperti tentang kebangsaan dan sejarah," ujarnya.
AGUSLIA HIDAYAH