Gunawan Setiawan, Ketua Kampung Batik Kauman, Surakarta, mengatakan bahwa pihaknya terpaksa mengerahkan pekerjanya untuk antre minyak tanah. “Satu orang hanya dapat satu liter,” kata Gunawan.
Akibatnya, jam kerja pekerjanya terganggu akibat harus mengantre minyak di pagi hari. “Tentunya pekerjaan tambahan tersebut berimbas ke kuantitas produksi,” kata Gunawan Setiawan. Selain jumlah produksi menurun, menurut Gunawan, harus memberikan upah tambahan kepada pekerja yang terpaksa mengantre minyak.
Hal senada juga diungkapkan oleh salah satu pengusaha batik di Kampung Batik Laweyan, Gunawan Muhamad Nizar. “Sempat tidak produksi selama sehari karena tidak mendapatkan minyak tanah,” kata Nizar. Untunglah beberapa warga di Laweyan bersedia mencukupi kebutuhan minyak tanah bagi para perajin di daerahnyanya dengan mengantre di beberapa tempat sekaligus.
Dirinya mengatakan sebenarnya para perajin batik bersedia membeli minyak tanah meskipun dengan harga yang tidak bersubsidi. “Yang penting barangnya ada,” kata Nizar. Bagi para perajin batik tulis, keberadaan minyak tanah sangat dibutuhkan pada saat proses mencanting, karena digunakan untuk mencairkan malam.
Sedangkan untuk beralih energi ke gas elpiji, Nizar mengaku para pembatik belum siap untuk melakukannya. “Karena belum ada kompor yang didesain khusus untuk membatik,” katanya. Kompor yang dibutuhkan adalah kompor dengan nyala kecil dan konstan. “Tidak boleh terlalu panas,” katanya.
Hingga saat ini Kampung Batik Laweyan seringkali digunakan untuk penelitian dari berbagai pihak. “Baik itu penelitian masalah lingkungan, budaya dan teknologi,” kata Nizar. Namun hingga kini di tempatnya belum pernah dilakukan penelitian mengenai penggunaan teknologi gas elpiji.
AHMAD RAFIQ