TEMPO Interaktif, Pekanbaru: Sejuta meter kubik kayu alam hasil tebangan liar yang disita Kepolisian Daerah Riau pada 2007 lenyap. Police line atau garis polisi yang melilit pada tumpukan kayu yang menggunung juga hilang. "Yang tidak diberi garis polisi juga raib," ungkap Direktur Walhi Riau, Jhony Setiawan Mundung, Senin (12/1).
Dari penelusuran Walhi dan Jaringan Kerja Penyelamatan Hutan Riau (Jikalahari), sebagian besr kayu yang disita polisi kini tak berbekas. Selain ada yang hancur, sebagian diangkut entah ke mana. "Kami sudah tidak lagi menemukan kayu siataan lagi di hutan," Jhony menegaskan.
Menurut dia, raibnya kayu alam yang ditebang secara sembarangan itu merugikan negara. Total kerugian mencapai Rp 6 triliun, dengan asumsi harga kayu Rp 600 ribu per meter kubik. Perhitungan harga ini merupakan perhitungan paling rendah harga kayu di pasaran saat ini, dan sudah termasuk pemotongan biaya trasportasi. “ Harga kayu saat ini rata rata di atas Rp 1,3 juta per kubiknya."
Kepala Polda Riau Brigadjir Jenderal Hadiatmoko, pada Desember 2008 lalu menerbitkan surat penghentian perkara penyidikan atas pembalakan liar 13 perusahaan yang beroperasi di Riau. Sejak berkas berita acara penyidikan dikembalikan oleh Kejaksaan Tinggi Riau, menurut Hadiatmoko, belum ditemukan bukti kuat adanya tindak pidana pembalakan liar di Riau.
Walhi Riau-lah yang melaporkan kasus pembalakan liar tersebut. Menurut Jhony, tumpukan kayu yang hilang berada di areal dua perusahaan pabrik kertas yaitu PT Indah Kiat Pulp & Paper dan PT Riau Andalan Pulp & Paper. “Selaku pelapor kami belum mendapat penjelasan status kayu kayu tersebut,“ papar dia.
Polda Riau, melalui juru bicaranya Ajun Komsiaris Besar Zulkifly, mengatakan belum tahu bahwa kayu hutan yang disita itu hilang. Menurut dia, walau telah keluar surat penghentian penyidikan tidak serta merta hasil tangkapan (kayu sitaan) yang diberi garis polisi dapat diambil begitu saja. “Ada prosedur," kata Zulkifly. Ia berjanji, “Nanti kami cek ke lapangan."
JUPERNALIS SAMOSIR