Sejak Rabu (4/2), kebijakan tersebut diberlakukan di empat wilayah, yakni Jalan Pecenongan dan Jalan Djuanda (Jakarta Pusat), Jalan Raden Patah (Jakarta Selatan) dan Jalan Boulevard Raya (Jakarta Utara). Setiap lima tiket parkir dapat ditukarkan dengan satu tiket gratis di kawasan tersebut.
"Pendapatan pasti kurang kalau ada yang gratis," kata Munawar, 57 tahun, salah seorang juru parkir di Jalan Pecenongan, Jakarta Pusat.
Biasanya, dalam sehari, Munawar mampu mengantongi pendapatan Rp 55 ribu hingga Rp 60 ribu. Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 30 ribu disetorkan ke pihak pengelola parkir. Sisanya, merupakan komisi yang bisa ia bawa pulang.
Meski begitu, Munawar mengaku telah menyosialisasikan kebijakan insentif gratis itu kepada pengguna jasa parkir. Selain itu, sosialisasi juga dilakukan dengan pemasangan spanduk. Di Jalan Pecenongan, pihak pengelola parkir telah memasang spanduk perihal kebijakan insentif gratis parkir tersebut.
Nurhakim, 28 tahun, warga pengguna parkir, mengaku kebijakan tersebut cukup membantu. "Kalau biasa harus bayar enam kali, jadinya lima kali. Sisanya, bisa buat beli minuman," ujarnya.
Pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi mengatakan persoalan mendasar parkir bukanlah menyangkut insentif gratis. "Ada dua persoalan parkir yang mendasar. Pertama, perlindungan hak konsumen. Dan kedua ketersediaan lahan parkir," ujarnya.
Perlindungan hak konsumen menyangkut revisi Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1999 tentang Perparkiran. Dalam Peraturan tersebut, pengelola parkir dibebaskan dari tanggung jawab atas kehilangan dan kerusakan kendaraan. "Itu yang menghilangkan hak konsumen. Seharusnya, hak perlindungan atas kehilangan dan kerusakan ada," kata Tulus.
Tulus menyatakan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus mengaudit seluruh bangunan publik untuk mengetahui ketersediaan tempat parkir. Bila tempat parkir tidak memadai, pemerintah harus mengadakan lahan parkir yang memadai. "Kalau tidak, maka kendaraan parkir di jalan yang menyebabkan kemacetan," ujarnya.
SOFIAN