Temuan mengejutkan ini disampaikan anggota Komisi Bidang Pendidikan dan Kesejahteraan Sosial, Panoto. Menurut laporan yang diterimanya, obat aborsi berbentuk pil tersebut dengan mudah didapatkan di sejumlah toko obat di Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. Harganya mencapai Rp 200.000 setiap butirnya.
“Tidak perlu resep dokter untuk membeli obat ini,” kata Panoto di ruang kerjanya, Kamis (5/2).
Transaksi jual beli obat ini juga tertutup. Penjual hanya mau menjual ke konsumen yang sudah dikenal. Di luar itu akan cukup sulit untuk mendapatkan pil pembunuh ini.
Para penjaga toko ini, menurut Panoto, cukup cerdik untuk menyembunyikan obat tersebut dari razia petugas. Hal inilah yang membuat peredaran obat tersebut semakin merajalela di kawasan Blitar. “Kami akan memanggil Dinas Kesehatan untuk menjelaskan masalah ini,” ujar Panoto.
Ia menjelaskan, penggunaan obat yang mengandung hormon progesteron ini rawan disalahgunakan. Selain membahayakan janin, obat ini dikhawatirkan akan bisa membunuh ibu yang mengkonsumsinya. Karena itu, ia berharap kasus ini bisa segera ditindaklanjuti oleh kepolisian dengan menggelar razia. Ia juga meragukan kinerja Tim Pengawasan dan Pembinaan Makanan dan Obat (TP2MO) Kabupaten Blitar yang dianggap tidak mengetahui kondisi di lapangan.
Kepala Dinas Kesehatan setempat Kuspardani mengaku baru mendengar informasi tersebut. Karena itu pihaknya akan segera melakukan pemeriksaan di lapangan untuk melacak penjualan obat ini. Kondisi ini menurutnya bisa terjadi akibat lemahnya aktivitas pengawasan yang dilakukan TP2MO.
“Bayangkan, dalam setahun mereka melakukan pengawasan dua kali saja,” kata Kuspardani.
Saat ini terdapat 38 apotik, sembilan toko obat, empat industri kecil obat tradisional (Ikot), 200 toko jamu, serta lebih dari 200 toko kosmetika yang tersebar di Kabupaten Blitar. Jumlah ini tidak sebanding dengan tenaga pengawas yang dimiliki Dinas Kesehatan. HARI TRI WASONO