"Kini mereka tak berani melaut karena iklim," ujar Direktur Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor Arif Satria di Jakarta Ahad (8/2).
Ketika harga bahan bakar minyak naik, Arif menjelaskan nelayan tak bisa melaut karena tak punya uang beli solar. Kini setelah turun justru Angin Barat yang biasanya hanya sampai Januari berlanjut hingga Februari menyebabkan gelombang pasang. "Situasinya justru menambah masa paceklik nelayan,"imbuhnya.
Data Departemen Kelautan dan Perikanan menggambarkan sekitar 32 persen (5.12 juta) nelayan hidup miskin sebelum Mei 2008. Akibat kenaikan harga bahan bakar tahun lalu, Arif memprediksi angkanya bertambah 50 persen. Kini setelah bahan bakar turun justru iklim yang mengganggu.
Kenaikan harga pakan juga memukul petani. Arif memaparkan tepung ikan untuk pakan ternyata 20 persennya diimpor dari Cile, Peru dan negara Amerika latin. "Padahal kita kan punya banyak ikan," serunya. Ketika akan mensubtitusi tepung ikan dengan kedelai, ia melanjutkan ternyata impor juga. Akibatnya harga pakan terus meningkat karena tergantung impor.
Kondisi yang lebih baik diakui Arif masih berada di Nelayan di Pulau Jawa. "Mereka bisa jadi buruh bangunan kalau tak melaut." Namun bagi nelayan di pulau kecil dan pesisir tak ada mata pekerjaan selain nelayan.
DIANING SARI