TEMPO Interaktif, Tangerang: Korban Jebolnya Situ Gintung di kampung Gintung, Cireundeu, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, memilih bertahan meski tempat tinggal mereka selama ini dilarang. Mereka juag menolak direlokasi. "Tanah yang kami tempati adalah tanah adat, warisan nenek moyang kami," ujar Dahroni, 50 tahun, salah seorang warga kepada Tempo.
Dahroni bersama istri dan dua orang anaknya adalah korban selamat dari jebolnya tanggul pada Jumat pekan lalu. Ia mengaku menempati rumahnya sejak 1982." Keluarga besar kami ada 20 orang semuanya tinggal di sini," ujar warga RT 04 RW 08 Kampung Gintung itu.
Menurut dia, sulit meninggalkan lokasi tersebut dan pindah ketempat lain. "Kalau harus memilih, kami sekeluarga akan membangun kembali rumah kami yang hancur dan menetap di sini," katanya.
Larangan pemerintah itu sebenarnya sudah mencuat setelah pemekaran Provinsi Banten dari Provinsi Jawa Barat, sekitar delapan tahun silam. "Dulu-dulunya nggak ada masalah." Rencana relokasi dan ganti rugi bangunan yang dijanjikan pemerintah ia tanggapi dingin. "Kalau ganti ruginya tidak sesuai saya nggak mau," Dahroni menegaskan.
Berbeda dengan Rohma, 45 tahun juga warga RT 01 RW 08. Wanita setengah baya ini mengaku trauma tinggal di bawah tanggul Situ Gintung. "Ngeri saya ngebayangin tinggal dirumah itu lagi," katanya.
Ibu lima anak ini mengaku membangun sendiri rumahnya dari hasil berdagang di pasar Tanah Abang, Jakarta. "Habis Rp 75 juta untuk membangun," tuturnya. Ia mulai tinggal ditempat itu sejak 1994. "Ini tanah warisan. Soal sertifikat saya nggak tahu."
Rohma berharap apabila pemerintah hendak merelokasi warga Kampung Gintung harus ada ganti rugi. "Besarannya harus sesuai, ya kalau seperti rumah saya minimal Rp 100
juta," katanya mematok angka.
JONIANSYAH