TEMPO Interaktif, Jakarta: Di sebuah meja, bertaplak putih polos, Yesus telentang. Ia telanjang. Ia hanya mengenakan kain penutup aurat. Kepalanya bermahkotakan duri. Tak ada darah mengucur dari tubuhnya. Tak ada bekas tusukan di lambungnya. Meja itu sendiri tanpa lilin-lilin dan sajian apa pun. Hanya ada satu kursi. Dan kursi itu kosong.
Ronald Manullang, sang perupa ingin kembali ke makna yang paling harfiah. Ia ingin membuang segala simbol dalam liturgi. Yang disajikan bukan roti dan anggur, tapi tubuh Kristus sendiri. Karya Ronald ini adalah bagian dari pameran Revisiting The Last Supper, yang diadakan CG Artspace Galeri.
Menyambut Paskah, yang bakal tiba pada Jumat, 10 April, galeri yang berlokasi di lantai tiga Plaza Indonesia ini mengundang perupa untuk menafsirkan karya Leonardo Da Vinci: Last Supper. Kita tahu, karya dari abad ke-15 ini menggambarkan pertemuan terakhir Yesus dengan ke-12 muridnya.
Momen yang ingin ditangkap Leonardo adalah situasi saat Yesus di hadapan muridnya. Ia menyampaikan bahwa salah satu di antara mereka bakal mengkhianatinya. Perkataan Kristus mengagetkan dan menimbulkan reaksi yang berbeda di antara murid-muridnya. Dalam gambar, kita melihat variasi ekspresi Petrus, Bartholomeus, Andreas, Yohanes, Simon, dan Matius. Mereka seolah saling tunjuk dan berdebat
Galeri membebaskan tafsir para perupa. Mereka boleh melukis ulang dengan referensi umum atau yang berbeda dengan makna karya asalnya. Dari yang tersaji, namun terlihat, tidak ada parodi atau eksperimen yang radikal. Para pelukis tampak menghormati tafsir utama. Padahal, kurator Rifki Efendi membuka peluang kepada para perupa untuk mempertimbangkan tafsir Da Vinci Code.
Lihatlah karya Tisa Granicia: The Last Supper. Ia menempelkan piringan-piringan mirip keramik antik Cina di dinding. Gambar di piring itu tidak berornamen naga-naga Tiongkok, tapi ikon-ikon Kristiani. Kita bisa melihat sosok Maria, Kristus, atau Leonardo sendiri.
Hamdan Omar mengangkat figur Yudas. Dengan arang, ia menggambar deretan sebuah wajah pria berjenggot dengan dua belas ekspresi. Judulnya Betrayal. Raut muka laki-laki berjenggot itu seolah gundah, menyesal, atau apa pun itu. Yang menarik adalah karyanya yang sangat berbau komik, Hey Judas! Here's Your Supper. Kita melihat sesosok pria berkerudung dilempar sepatu sport merah. Di situ ada teks "swosshhhr".
Davy Linggar menggambar ulang Last Supper versi Italia, Jacopo Basanno dari Venesia (1515-1592). Tapi yang menarik, Yesus dan 12 muridnya, oleh Davy, dilukiskan menjinjing tas-tas bermerek. Seorang murid mengangkat tas wanita. Mereka seolah memperebutkan tas-tas kapitalis itu.
Beberapa perupa terlihat bermain-main dengan meja, tanpa kehadiran Yesus dan muridnya. Indra Leonardi menyajikan gambar meja panjang. Namun, bukan menu yang disajikan, tapi 13 komputer. Sama halnya dengan Teguh Ostenrik, membawa meja tripleks sungguhan. Meja itu dilengkapi prasmanan makanan yang ditata di piring-piring tanah liat. Teguh mengaku ketika mengunjungi Katedral di Papua, ia terpana melihat Patung Corpus Christi dengan figur berbentuk orang Asmat. Bagi dia, meja dan menu perjamuan terakhir tak harus bernuansa Eropa, tapi Jawa.
Sementara bila kita melihat karya Ahmad Ginanjar, The Last Outbond with The Fall of Icarus, kita bisa agak bertanya, apa hubungannya dengan tema pameran itu. Karya ini menampilkan sekelompok laki-laki bertamasya di pinggir kali. Di atas sungai ada tubuh jatuh dari langit dengan sayapnya yang putus.
Karya yang langsung terlihat mencolok di pameran itu adalah karya panjang J. Ariadhitya Pramuhendra, Holy Mass (160 x 170 sentimeter). Pramuhendra memang sebelumnya pernah berpameran tunggal dengan tema serupa. Ia mengganti sosok Yesus dan muridnya dengan dirinya sendiri. Cara menampilkannya fotografis. Kita melihat rentetan dirinya beradu pendapat. Yang menarik, saat melihat lukisan ini, kita bisa berpikir, ternyata variasi gesturkulasi murid-murid Yesus di Perjamuan Terakhir mirip sebuah relief candi.
SENO JOKO SUYONO