Ia menilai sejauh ini hukuman bagi pemalsu terlalu rendah, hanya berkisar di angka beberapa bulan penjara. Sebabnya, kata Budi, ialah ketidakseragaman persepsi di benak penegak hukum. "Pemalsu uang diperlakukan sama seperti pemalsu dokumen," kata dia. Seharusnya, pemalsuan uang disetarakan dengan kejahatan besar seperti pencucian uang.
Terlebih, lembaran uang palsu yang beredar terus meningkat. Pada 2004, hanya tujug lembar uang palsu yang ditemukan di setiap sejuta lembar uang yang beredar. Tapi jumlahnya meningkat menjadi 8 per sejuta lembar pada 2007, dan naik lagi ke 9 per sejuta lembar tahun lalu.
Dari sisi nominal jumlah peredaran uang bodong itu memang menurun. Jika 2006 uang palsu yang ditemukan kepolisian tercatat Rp 5,8 miliar, tahun berikutnya Rp 4,7 miliar, dan tahun lalu Rp 1,5 miliar. Bagaimanapun, keberadaan uang palsu tetap merugikan masyarakat dan negara.
Budi juga berharap, pihak kepolisian dapat meningkatkan koordinasi penyidikan uang palsu, yang selama ini masih terpisah di setiap wilayah. Adapun bank sentral sendiri, kata dia, mencegah bertambahnya uang palsu dengan meningkatkan teknologi pengamanan uang agar sulit dipalsukan, dan mensosialisasikan kewaspadaan akan uang palsu kepada publik.
Kepala Staf Harian Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu Landjar Sutarno mengungkapkan kendala penegakan hukum ialah sanksi pidana minimal yang sangat rendah, hanya 4,5 bulan. Meski sanksi maksimalnya 15 tahun, batas minimal yang rendah tadi membuka peluang bagi oknum hukum berkolaborasi dengan pelaku. "Vonis hakim juga cenderung mengabaikan aspek keadilan dan keresahan masyarakat yang ditimbulkan," tuturnya.
BUNGA MANGGIASIH