TEMPO Interaktif, Jakarta :
Kain putih yang menjulur dari atas itu menjadi obyek eksplorasi. Si penari mula-mula memainkannya dari belakang. Ia kemudian duduk, bertumpu pada kain, dan mengayun-ayunkan badannya. Ia tampak gelisah. Ia tidak seperti seseorang yang merebahkan dirinya secara santai pada hammock--tempat tidur gantung yang biasa dicantelkan pada pohon.
Ia seolah ingin ayunan itu membawanya tinggi-tinggi dan menabrakkan dirinya ke dinding. Akhirnya kita melihat ia terbebat dalam pilinan kain setengah bergantung. Saat klimaks itu, tiba-tiba meja dan kursi yang ada di depannya juga terjungkal sendiri secara mengejutkan.
Tepukan dan suitan memang layak ditujukan kepada Nur Hasanah, penari muda itu, yang membawakan tari karya Andara Firman Moeis yang berjudul Inilah Aku. Selama 15 menit penonton menyaksikan Nur Hasanah menarikan suatu curahan hati kehidupan remaja perempuan Ibu Kota.
Tarian itu pertama kali dipentaskan pada 2006 oleh koreografernya sendiri, Andara, 23 tahun--yang kerap disapa Anggie. Saat membuat Inilah Aku, dia masih berusia 20 tahun. Di Teater Salihara, Selasa malam lalu, tari itu ia "serahkan" kepada Nur Hasanah, adik angkatannya di Institut Kesenian Jakarta.
Dalam peta dunia tari Indonesia, kini mungkin Anggie adalah koreografer termuda yang berani memunculkan karyanya. Para koreografer muda antara 25 tahun dan 30 tahun, dari Jakarta, Solo, Yogyakarta, Bandung, Padang, hingga kota-kota yang ada sekolah tarinya, kini bisa dihitung dengan jari. Apalagi yang di bawah 25 tahun. "Dari segi jumlah, koreografer berumur 20-an yang sudah pernah pentas untuk publik sangat sedikit," kata Iskandar Loedin, anggota komite tari Dewan Kesenian Jakarta.
Ia mengungkapkan, banyak penari pada usia mereka rata-rata merasa belum siap untuk menampilkan karyanya. Hal itu karena dibanding 10 tahun lalu, apalagi di Jakarta, biaya produksi dan sewa gedung pertunjukan makin mahal. "Tapi itu semua tergantung kegigihan pribadi. Anggie termasuk gigih." Melihat kegigihan Anggie, maka Salihara mengundang dan mendanai produksi tarinya. "Kami mengawasi terus proses artistik karya ini," kata Tony Prabowo, kurator tari Salihara.
Tari yang ditampilkan Anggie pada malam itu adalah deskripsi Anggie tentang hidupnya. "Aku merasa tak gampang saat tumbuh remaja." Saat ditarikannya sendiri, tentu berbeda dengan ketika dibawakan Nur Hasanah. Tema dasarnya tentu tak berubah. Namun, Anggie menginginkan yang muncul adalah ekspresi dari aktivitas dan kegundahan sehari-sehari yang juga dialami Nur Hasanah. "Saya berusaha menampilkan dia dan problematikanya," kata Anggie.
Kita melihat Nur Hasanah pada mulanya beraktivitas secara verbal. Di balik kain yang menjulur itu, ia mencopot baju dan berpura-pura menggosok badannya, lalu ia mengecek isi tasnya, kemudian menerima telepon. Dering ringtone telepon kemudian terdengar. Nur menjawabnya, "Hai chayaaang, aku baru bangun, nih!"
Ia lalu mendadak menari diiringi gedoran dentum lagu R&B terkini. Kepungan gaya hidup, tren, dan teknologi yang mempengaruhi para remaja tersaji dalam koreografi ini. Anggie hampir saja mengganti telepon genggam dengan BlackBerry, yang pada satu adegan dibanting kesal oleh Nur. "Tapi sayang juga ya membanting BlackBerry," katanya.
Karya kedua berjudul ... (kosong). Karya ini dimainkan oleh Siti Ajeng, Graze Susan, Mei Lia Nita, Risa Setiana, dan Dilliani. Begitu cahaya redup di panggung mulai terang kita melihat kelimanya duduk di kursi. Yang menarik, di atas mereka ada bola yang digantung. Bola itu mengayun ke kanan-kiri seperti pendulum.
Kursi sudah sedemikian sering menjadi obyek para penari kita. Apa yang ingin diperbuat Anggie dengan kursi-kursi ini? Adakah hal yang baru? Anggie dalam percakapan ingin memaknai kursi sebagai sebuah tempat pelarian.
Namun, 30 menit untuk ide ini agaknya terlalu lama. Anggie agak terbata-bata mengartikulasikan gagasannya itu. Apalagi kemampuan gerak tubuh kelima penari itu terlihat tidak setara. Anggie menyodorkan simbol yang sulit dicerna. Para penari dibuatnya bergerak dengan kecepatan berbeda-beda, dari gerak lambat hingga gerak mundur. Mereka semua lalu seolah ingin melepaskan diri dari "kursi", tapi tak bisa. Yang jadi pertanyaan, bola yang mengayun di atas ternyata sama sekali tidak dijadikan bahan interaksi.
Musik banyak hadir seperti interupsi dan mendadak berdentam di tengah karya, misalnya, tiba-tiba masuk iringan lagu Britney Spears. Anggie hendak ingin menyajikan betapa dunia clubbing merupakan pelarian lain dari kekosongan. Selain musik, kita mendengar aneka tumpukan bunyi dari ceramah, suara televisi, dan dangdut. Bunyi itu susul-menyusul dan membaur. Semua itu koleksi suara yang terdengar dalam aktivitas (Anggie) sehari-hari.
Pada menit-menit terakhir pertunjukan, mendadak dari atas meluncur sebuah kursi. Kursi itu tergantung. Musik berubah menjadi suara-suara tuts piano dengan nada-nada minor. Di panggung kita melihat Siti Ajeng dengan gaun merah duduk tak jenjam. Ia kemudian memutar-mutar seperti gasing mengelilingi kursi. Empat penari lain dengan posisi masing-masing tergeletak di kursi. Mereka semua seolah terkapar, kejang-kejang tak berdaya. Tak seperti karya solonya, Anggie tak mengakhiri karya keduanya ini dengan sebuah ending tajam. SENO JOKO SUYONO dan IBNU RUSYDI