TEMPO Interaktif, Sleman: Dusun Nglepen, Sengir, Desa Sumberharjo, Kecamatan Prambanan, Sleman, Yogyakarta kini hanya tinggal puing-puing. Seluruh penduduknya berjumlah 71 kepala keluarga “bedhol desa” ke tanah milik kas Desa setempat. Dusun tersebut luluh lantak akibat gempa bumi berkekuatan lima skala richter yang melanda Yogyakarta, Sabtu (27/5) 2006 yang lalu.
Akibat tanah di perbukitan selatan tersebut labil dan berbahaya jika dihuni, maka seluruh warga menempati rumah berbentuk dome atau iglo seperti rumah-rumah di kutub. Di dusun tersebut hanya tinggal ternak yang dikunjungi oleh pemilih setiap hari untuk diberi makan. Itupun hanya lima kepala keluarga yang masih berternak sapi atau kambing di lokasi tersebut.
Para warga korban gempa, saat ini menghuni rumah mirip film anak-anak “Teletubbies” dengan fasilitas yang jauh lebih baik dibandingkan rumah asli mereka. Ukuran rumah tembok berdiameter tujuh meter tersebut berupa dua ruang tidur, satu ruang tamu dan di lantai atas ada ruang keluarga yang bisa untuk bercengkerama lebih dari sepuluh orang. Sayangnya, rumah tersebut tidak dilengkapi dengan kamar mandi di dalam rumah.
“Kamar mandi dibangun terpisah dan digunakan secara komunal, justru dengan begitu kami bisa berinteraksi dengan tetangga seperti di dusun asal kami,” kata Sakian, seorang warga yang rumahnya digunakan untuk pusat informasi rumah dome.
Hanya saja, jika malam hari bagi orang tua dan anak-anak merasa kesusahan jika akan buang hajat.
Kebiasaan dan pekerjaan warga tidak berubah. Mereka masih ke sawah atau beternak sapi dan kambing. Hanya saja, mereka tidak bisa memelihara hewan ternak mereka di dekat rumah. Namun telah disediakan kandang umum sebanyak 24 unit di lokasi yang berjarak hanya 50 meter dari komplek rumah dome.
Seperti yang diceritakan oleh Ngatiyem (37) ia tetap bercocok tanam beras ketan di lahan yang berdekatan dengan komplek dome. Ia mengaku sangat beruntung karena tidak ada korban jiwa di dusunnya saat terjadi gempa. Namun seluruh bangunan rumah rata dengan tanah.
“Kami tidak mau mengingat kembali peristiwa itu, namun bangaimana kami harus bertahan dan bangkit,” kata dia sambil merontokkan beras ketan hasil panennya di depan rumah domenya..
Komplek rumah dome berjarak sekitar 750 meter dari dusun asal para warga. Mereka menyebut komplek tersebut dengan “New Nglepen”. Terdapat 80 bangunan rumah dome dengan 71 rumah hunian dan sisanya untuk taman kanak-kanak, musholla, pusat kesehatan, gedung pertemuan dan kamar mandi umum. Dusun New Nglepen direncanakan menjadi desa wisata dengan andalan bentuk rumah yang hanya satu-satunya di Indonesia.
Para warga telah menempati rumah dome tersebut sejak 29 April 2009 yang lalu. Namun sayang sekali gedung taman kanak-kanak hingga saat ini belum difungsikan karena belum ada pengelola yang siap menangani sekolah tersebut. Padahal tidak sedikit anak-anak yang ada di dusun tersebut.
“Pihak Dinas Pendidikan pun belum pernah membicarakan pengelolaan taman kanak-kanak di sini, padahal kami sudah mengusulkan,” kata Sakiran.
Para warga menempati banguna dengan total biaya USD 1 juta dari donatur asal Dumai Uni Emirat Arab. Dan menempati rumah tersebut selama tiga tahun tanpa dipungut biaya pajak kecuali harus membayar biaya listrik. Setelah tiga tahun, pihak Desa masih akan berembug dengan warga.
“Kami juga khawatir harus membayar ganti tanah, jika harus membayar maka kami minta harganya tidak tinggi, karena rata-rata warga merupakan orang yang tidak mampu,” kata Sakiran.
MUH SYAIFULLAH