TEMPO Interaktif, Tangerang: Kuasa Hukum Prita Mulyasari, Samsu Anwar menyatakan berbagai jenis obat yang dikonsumsi oleh Prita yang diberikan oleh dokter Rumah sakit Omni Internasional Serpong saat dirawat diduga tidak layak untuk seseorang yang didiagnosa penyaki demam berdarah.
”Apalagi dengan trombosit 181 ribu,” ujarnya kepada Tempo, Kamis (18/6) siang ini.
Berdasarkan salinan resep yang didapatkan Tempo, selama dirawat di Rumah Sakit Omni International, Prita mendapat suntikan (injeksi) antibiotik Ceftriaxone. Data cetak resep rawat inap RS Omni International tanggal 8, 9, dan 11 Agustus 2009 Prita mendapat injeksi berisi zat aktif Ceftriaxone, yang merupakan generasi ketiga golongan senyawa Sefalosporin.
Mengacu pada keterangan data produk situs resmi produsen produk tersebut, suntikan Ceftriaxone digunakan bagi penderita infeksi yang disebabkan mikroorganisme sensitif. Antibiotik tersebut lazim digunakan untuk mengobati penyakit infeksi di area pernafasan bagianbawah, saluran urin, gonorhoe, tulang dan sendi, perut bagian dalam, juga meningitis.
Pemberian injeksi Ceftriaxone berisiko mengakibatkan iritasi. Harga injeksi Ceftriaxone tidak murah. Tertulis pada salinan resep, Prita harus membayar kurang lebih Rp 3.000.000 untuk injeksi tersebut.
Selain menerima injeksi Ceftriaxone, Prita juga mendapat injeksi Ranitidine HCl, yang lazim digunakan sebagai obat maag, dan injeksimultivitamin. Berdasar resep, dalam sehari, Prita bisa mendapat lima suntikan.
Demam berdarah, penyakit yang didiagnosis dokter atas Prita, merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti.
Samsu mengatakan obat-obat tersebut tidak sesuai dengan diagnosa dokter terhadap penyakit Prita. Menurutnya, ia telah meminta masukan dari para dokter untuk menjelaskan resep obat yang diberikan kepada Prita dan menyatakan obat itu tidak layak.
”Namun berbagai pihak tersebut keberatan dan mereka tidak mau bersaksi secara terang-terangan,” kata Samsu
Untuk itu, kata dia, pihaknya akan membawa hal ini ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. ”Dalam satu dua hari ini, kami akan datangi MKDKI,” ucapnya. Dalam hal farmasi, Samsu mengaku masih awam sehingga harus melibatkan ahli farmasi dalam menyikapi dugaan salah obat tersebut.
Samsul menambahkan, indikasi pemberian obat yang tidak layak buat Prita itu akan dijadikan salah satu bahan mereka untuk melaporkan dugaan malpraktik. Bahan lainnya yang akan disiapkan dalam gugata balik perdata maupun pidana serta dugaan malpraktik yang akan mereka layangkan dalam waktu dekat ini adalah adanya keganjilan dalam medical record atau rekam medis.
Semestinya, kata dia, rekam medis diberikan dari awal hingga akhir pasien dirawat. Tapi Prita, diberikan rekam medis pada hari terakhir ia dirawat dan menyatakan bahwa Prita sehat. ”Seharusnya lengkap, karena rekam medis dicatat dan ditanda tangani oleh dokter yang melakukan tindakan medis,” kata Samsu.
Menanggapi pengobatan yang diterima Prita Kepala Dinas Kesehatan Tangerang Selatan, Dadang, mengatakan Demam Berdarah Dengue (DBD) memiliki standar pengobatan. ”Pada dasarnya Omni harus bertanggung jawab atas tindakan medis yang diperbuat,” katanya saat ditemui dikantornya, Rabu 17/6. Terapi yang diputuskan dokter menurut Dadang adalah bagian dari tanggung jawab profesi.
JONIANSYAH