Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Arif H. Oegroseno: Peta Malaysia Diprotes Banyak Negara

image-gnews
TEMPO/Arnold Simanjuntak
TEMPO/Arnold Simanjuntak
Iklan

Arif HavasTEMPO Interaktif, Jakarta: Masuknya kapal perang Malaysia ke kawasan Ambalat pada 30 Mei lalu, yang memicu sentimen anti terhadap negeri jiran (itu) tersebut, bukan yang pertama. Sejak Januari 2009 saja, sedikitnya sembilan kali kapal laut, sebuah heli, dan pesawat intai Malaysia menerabas wilayah Ambalat, Laut Sulawesi.

Bahkan Malaysia memberikan konsesi kepada Shell, perusahaan minyak Belanda, dan Petronas di Blok Y dan Z di kawasan kaya minyak dan gas itu sejak 2003. Padahal perundingan batas laut di Laut Sulawesi antara Indonesia dan Malaysia belum selesai.

Perundingan di antara dua negara sangat alot dan butuh waktu lama untuk menyelesaikannya. "Tiga puluh tahun lagi," ujar Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri Arif Havas Oegroseno. Perundingan batas laut, kata Havas, adalah salah satu perundingan yang paling sulit di seluruh dunia.

Arif Havas, 46 tahun, adalah salah satu orang yang turut dalam perundingan batas laut antara Indonesia dan Malaysia. Ia berpengalaman dalam perundingan semacam itu. Empat kali ia menjadi ketua delegasi perundingan, antara lain perundingan delimitasi kelautan Indonesia-Singapura-Filipina. Sejak 1993, ia menjadi anggota delegasi berbagai sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sehari sebelum berbicara di panel Maritime Security di New York, Amerika Serikat, Havas membeberkan seputar kasus Ambalat kepada Endri Kurniawati dari Tempo. Berikut ini kutipannya.

Bagaimana kelanjutan perundingan Indonesia-Malaysia soal Ambalat?
Masih lama, 30 tahun lagi.

Apa yang paling sulit?
Kita harus mencocokkan dulu geografinya. Harus melihat bentuk pantainya. Harus melihat yurisprudensinya. Apa ada putusan Mahkamah Internasional atau Arbitrase atau hukum internasional lain yang bisa diterapkan di sana. Kita harus melihat segi hidrografinya, oseanografinya. Elemennya banyak sekali. Dan kita harus memastikannya satu per satu.
Perundingan batas laut adalah salah satu perundingan yang paling sulit di seluruh dunia. Sehingga selalu memerlukan proses yang lama sekali. Kalau kedua belah pihak nggak sabar, ke Mahkamah Internasional. Tapi mayoritas dari sekitar 500 perjanjian perbatasan yang dibawa ke Arbitrase atau Mahkamah Internasional itu sangat kecil jumlahnya. Tidak sampai 20 kasus.

Kasus ini berpotensi ke Mahkamah Internasional?
Nggak. Kita membuat perjanjian khusus dengan Malaysia untuk tidak menundukkan diri di bawah yurisdiksi Mahkamah Internasional. Kalau Indonesia dan Malaysia mau membawanya ke Mahkamah Internasional atau Arbitrase, harus melalui DPR dulu. Karena harus ada perjanjian antarnegara, harus ada klausul bahwa menang-kalah harus menerima putusan.

Kapok karena Sipadan-Ligitan?

"Main-main" di Mahkamah Internasional itu harus dipikir karena akan berimplikasi hukum, tidak hanya ke masalah itu. Dari semua pakar internasional yang pernah saya temui, tidak banyak yang menyarankan penyelesaian persoalan ke Mahkamah Internasional. Mereka ke Mahkamah Internasional berarti menyerahkan proses negosiasi politik ke pengadilan.

Menyerahkannya ke tangan orang lain?
Ke tangan orang lain. Dan kita tidak akan punya kontrol lagi terhadap persoalan kita. Itu kunci utama.

Apa akar masalah ini?
Problem awal itu sebenarnya Malaysia mengeluarkan Peta 1979. Pertanyaannya, mengapa mereka mengeluarkan peta itu, sedangkan perundingan sudah akan selesai. Proses perundingan hukum laut dimulai pada 1973. 1973, mereka mulai negosiasi batas laut. Pada 1980-an awal diperkirakan sudah selesai. Tahun 1982 diperkirakan akan ada option. Nah, pada 1979, dia (Malaysia) bikin peta.

Mengapa mereka mengeluarkan Peta 1979?
Menurut beberapa literatur yang saya baca, karena mereka ingin mengantisipasi UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea, Hukum Laut Internasional). Ada beberapa hal dalam UNCLOS yang memperkuat Indonesia dan memperlemah Malaysia. Juga memperkuat posisi negara tetangga yang lain. Peta 1979 ini diprotes banyak negara. Persoalan utamanya ada di situ, its the most crustal element.

Peta itu menyangkut semua segmen. Di Selat Malaka dia mencampur aduk antara ZEE (zona ekonomi eksklusif) dan landas kontinen. Di Selat Singapura, dia memasukkan beberapa wilayah Singapura ke peta dia. Di dekat Laut Cina Selatan, gambaran dia juga membuat masalah dengan banyak negara tetangga kita. Di Laut Sulawesi bermasalah dengan kita dan dengan Filipina. Di semua segmen dia bermasalah. Itu problem Peta 1979.

Negara-negara ASEAN, Asia Tenggara, tidak ada yang mengeluarkan peta unilateral selain dia (Malaysia). Ini lalu menjadikan problem utamanya. Itu satu.  Yang kedua, masalah perundingannya. Dalam Konvensi Hukum Laut disebutkan dasar penyelesaian masalah batas laut itu ada tiga. Pertama, dengan perdamaian, perjanjian, perundingan. Kedua, menggunakan hukum internasional. Yang ketiga, ada elemen yang subyektif, yakni memperhitungkan relevant circumstances. Hal-hal yang relevan ini kan sifatnya subyektif. Di antara kedua negara tidak selalu sama.

Apa ukuran yang menguntungkan tiap-tiap pihak?

Ya. Kita harus menentukan elemen apa yang relevan dan elemen apa yang tidak relevan.

Apa dasarnya?
Kita ambil beberapa pasal dari hukum laut yang bisa dipakai. Pasal mengenai masalah pemilihan based point, penarikan based line dan treatment terhadap pulau. Itu complicated sekali. Pulau yang kecil tanpa penghuni di-"diskon". Artinya, pulau itu tidak berdampak untuk menarik wilayah terluar.

Apa lagi yang termasuk dalam "hal-hal relevan"?
Kita harus melihat yurisprudensi dan hasil-hasil putusan Arbitrase. Apakah ada elemen-elemen di situ yang menjadi putusan hakim yang bisa dipakai untuk rujukan. Nah, ketemu: geografi. Geografi (maksudnya) bentuk konturnya, pantainya. Bentuk pantai bisa mempengaruhi garis.

Dalam beberapa putusan Mahkamah Internasional, bentuk pantai yang landai, cekung, cembung mempengaruhi garis. Panjang pantai juga. Negara yang pantainya panjang dengan negara yang garisnya pendek itu beda. Garis lurus di atas peta dengan garis yang riil menempel di bumi itu lain. Salah ngitung, bisa missed banyak sekali. Teknologi berkembang terus, (terserah) kita mau pakai yang mana.

Proporsionalitas proyeksi wilayah juga berpengaruh. Dari segi matematika beda. Berapa luas wilayahnya, dibanding panjang pantainya, berapa. Lalu aspek hidrografi atau pasang-surut air. (Harus dilihat) apakah ada satu feature, karang, misalnya, tenggelam atau tidak. Kalau memang tenggelam, apa memang betul ia tenggelam. Itu harus dilihat, dihitung, harus ada bukti empirisnya. Kemudian kartografi, ilmu membaca peta, oseanografi.

Untuk menentukan peta bersama saja tidak mudah. Salah satu kesulitannya, Indonesia punya peta sendiri, Malaysia punya peta sendiri. Kan kita nggak mau pakai peta Malaysia, Malaysia juga nggak mau pakai peta Indonesia. Kita harus menunjukkan peta yang menurut kita independen.

Biasanya rujukannya pakai peta yang mana?
Masing-masing bawa sendiri. Kita bawa peta Inggris, harus cek dengan peta Prancis, dan peta modern yang baru. Kita mesti melihat feature-nya sama apa tidak, skalanya, elemen-elemennya sama atau tidak. Kalau sudah sama semua, kita tidak bisa datang ke lapangan, kan.

Mengecek ke lapangan tidak diperlukan?

Ya, nggak bisa, laut, kok. Kalau tanah gampang, kalau laut kan sulit.

Jadi perundingan hanya berdasarkan peta?
Ya, di atas peta saja. Kita harus menentukan peta bersama. Menentukan itu tidak mudah, harus verifikasi dulu peta bersama itu. Setelah beberapa seri perundingan, kita sudah punya peta bersama itu. Peta bersamanya pun sudah kombinasi dari beberapa peta pihak ketiga yang independen. Kita combine dengan teknologi. Supaya kita bisa bekerja di atas peta bersama itu.

Berapa lama menentukan peta bersama?
Lama, kira-kira setahun. Lebihlah. Sebab, kalau mereka (Malaysia) mengajukan peta, kita kan harus verifikasi kepada pihak yang membuat peta. Kita harus datang, cek teknologinya, harus survei lapangan (untuk mengecek) benar nggak peta yang ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Peta bersama itu kira-kira menguntungkan kita?
Harus peta netral, yang mencerminkan keadaan di lapangan as it is. Kalau peta itu peta lama bisa destortif, misleading. Contohnya tentang kedalaman. Kita lihat peta 1980, kedalamannya 50 meter. Kita mesti cek dulu, karena mungkin peta yang lain kedalamannya lain.

Pihak terkait harus mencari dan bikin kesepakatan sendiri?
Ya, kita harus punya kesepakatan tentang term of references (TOR)-nya. TOR-nya berbeda-beda untuk segmennya karena tiap segmen punya kekhasan. Tidak ada perundingan batas laut yang tiap segmennya identik, pasti seluruhnya berbeda. Kita dengan Malaysia tentang Selat Malaka itu saja semua berbeda.

Punya rujukan dari perjanjian-perjanjian sebelumnya?
Punya. Kita punya 16 perjanjian perbatasan. Tapi hampir semuanya dibuat sebelum 1980-an. Sehingga referensi hukumnya berbeda. Case law tentang batas laut itu baru mulai muncul pada 1982-1983. Jadi, setelah UNCLOS diterima, baru banyak kasus. Half about 500 agreements, so far. So far kita punya koleksi sekitar 500 perjanjian internasional tentang batas laut. Itu terbitan sampai 2006. Tapi (hingga kini yang ada) masih banyak lagi kan. Dan yang dibawa ke Mahkamah sekitar 25 (kasus), itu sued semua.

Kita ambil yang mirip untuk dijadikan yurisprudensi?
Ya, yang mendekati (hampir sama) kita pakai. Membaca yurisprudensi tidak mudah. Kita ambil argumentasi-argumentasinya.

Sudah menemukan hal yang mendekati kasus Ambalat?
Sudah. Solidlah.... (Menangani sengketa batas laut adalah) suatu proses yang mix, campur antara kerja akademisi dan praktis. Dari segi hukumnya lebih banyak pekerjaan akademis. Dari segi non-hukumnya very practical.

Di lapangan dalam posisi menguntungkan? Lebih banyak jejak Indonesia di Ambalat daripada Malaysia?

Nah, itu (soal) hukum. Sebenarnya soal Sipadan-Ligitan, ada satu yang kita sering lupa. Hakim Mahkamah Internasional mengatakan hanya akan mengambil kegiatan-kegiatan Indonesia-Malaysia hingga 1969 (sebagai bukti). Istilahnya cut of date.

Kenapa 1969?
Karena kita pertama kali bersengketa. Setelah 1969, Malaysia membuat resor dan sebagainya itu dianggap tidak ada. Kalau Malaysia menang, itu bukan karena Malaysia membuat resor. Itu kesalahan publik yang terus-menerus kita lakukan. Yang dicari hakim itu kegiatan sebelum 1969. Kalau mau jujur, Sabah baru masuk Malaysia pada 1963. Karena federasi Malaysia konkret kan baru pada 1963. Dari 1963-1969 hakim tidak menemukan kegiatan hukum dan nonhukum Malaysia di sana, Indonesia nggak punya.

Tarik lagi ke belakang, mulai 1963 ke belakang. Malaysia merdeka, nggak melakukan apa-apa. Tarik lagi ke belakang, apakah Inggris pernah melakukan sesuatu? Ya. Inggris mempunyai undang-undang, hukum, peraturan, legislasi, ruling, di bidang penyu, burung, hutan. Belanda nggak punya.

Apa lagi yang dilakukan Indonesia?

Nggak ada. Ada satu lagi pertanyaan yang nggak bisa dijawab Indonesia (di Mahkamah Internasional). Indonesia, yang mengaku sebagai negara kepulauan dalam Deklarasi Djuanda 1958 dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia, Sipadan-Ligitan nggak masuk. Kenapa? Jawabannya kita nggak tahu. Itu pertanyaan hakim yang nggak bisa kita jawab. Pertanyaan yang mencolok adalah, kalau memang kita mengklaim, kenapa (Sipadan-Ligitan) tidak dimasukkan dalam Deklarasi Djuanda?

Kalau Ambalat masuk dalam Peta Djuanda?

Ya, berbeda (dengan Sipadan-Ligitan). Perbedaan mencolok lainnya adalah kita memberikan konsesi minyak di wilayah Laut Sulawesi. Saya nggak terlalu senang menyebut Ambalat karena hanya sebagian kecil dari yang kita rundingkan. Jadi, kalau orang mengatakan wilayah Ambalat bagian dari Indonesia, kita rugi besar. (Ambalat) itu hanya sebagian kecil (dari wilayah Laut Sulawesi). Kita berunding tentang Laut Sulawesi.

Dengan Peta 1979, Malaysia juga bermasalah dengan negara tetangga lain?
Ada, banyak. Dengan Singapura masih berlangsung.

Sengaja untuk memperluas wilayah?
Asal mengklaim saja. So far wilayah suatu negara hanya bisa didapatkan hanya dengan perundingan. Tidak bisa dengan unilateral, nggak ada di dunia (yang seperti) itu. Semua harus dengan perundingan. Indonesia pun begitu. Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa wilayah kita didapat dari perundingan. Bukan dari bedil.

Relevant circumstances berpotensi memicu konflik?
Ya, memang potensi konflik itu (menentukan) batas laut.

Kalau perundingan belum final, kenapa Malaysia berani bikin kontrak dengan asing?
Itu bagian dari itu (proses perundingan). Yang membuat kita kecewa terhadap Shell (perusahaan minyak Belanda yang memiliki kontrak dengan Petronas di Ambalat) itu drilling di sumur Bougenville, Ambalat dengan kita pada 1998. Drilling. Tapi dia hit dry well, kosong. Sehingga (karena) nggak ada minyaknya, selesai, lalu dikembalikan ke pemerintah. Kemudian kita jual ke perusahaan lain. Sekarang Shell nggak beroperasi di situ, malah assigned agreement di Ambalat (dengan Petronas).

Apa yang kita lakukan?
Ya biarin aja. Saya bilang, kalau Shell eksplorasi, kita akan melakukan tindakan tegas terhadap properti Shell. Itu kami sampaikan dengan surat resmi ke Shell, Petronas, Malaysia.

Apa jawaban Shell?
Mereka tidak akan melakukan apa pun sebelum ada hasil perundingan.

Kalau Malaysia?

Ya, berunding aja, udah. Kalau Malaysia tidak secara resmi membalas karena saya kirim (surat) ke Shell dan Petronas, tembusannya ke Malaysia. Mereka nggak jawab.

Kenapa nggak mengirim surat resmi ke Malaysia?
Lain, dong. Yang assign kan Petronas, ini masalah hukum. Politiknya kita tetap mengirim nota diplomatik.


Arif Havas Oegroseno
Lahir: Semarang, 1963, Istri: Sartika, dengan dua anak

Pendidikan:
- Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1986
- Harvard Law School, 1992
- Program Negosiasi Harvard Law School, 2007

Pekerjaan: Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri

Karier:
- Direktur Perjanjian Politik, Keamanan, dan Kewilayahan Departemen Luar Negeri (2002)
- Membuka kembali Kedutaan Besar Republik Indonesia di Portugal setelah tutup 30 tahun, menjadi penjabat Hubungan Media (1999-2002)
- Kepala Seksi Bidang Humaniter Direktorat Organisasi Internasional (1997-1998)
- Foreign Lawyer pada Bracewell & Paterson Law Firm, Houston, Amerika Serikat (1992-1993)
- Pejabat junior pada Direktorat Timur Tengah (1988-1990)

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan

Utusan Khusus Indonesia-Malaysia Bertemu Bahas Ambalat

10 Agustus 2015

Retno Marsudi. dok. TEMPO/Yosep Arkian
Utusan Khusus Indonesia-Malaysia Bertemu Bahas Ambalat

"Batas wilayah maritimnya belum selesai," ujar Retno.


Sengketa Ambalat, Kemenlu Keluhkan Ini untuk Protes Malaysia

3 Juli 2015

Pasukan Marinir TNI-AL menuju KRI Lampung di Dermaga E Markas Komando Armada Timur, Surabaya (2/1). 130 Marinir tersebut akan bertugas di perairan Ambalat,  menjaga perbatasan Indonesia dengan Malaysia. TEMPO/Fully Syafi
Sengketa Ambalat, Kemenlu Keluhkan Ini untuk Protes Malaysia

Untuk dapat melayangkan nota protes, Kementerian Luar Negeri membutuhkan informasi rinci.


Kemenlu Belum Terima Bukti Pelanggaran di Ambalat

29 Juni 2015

TEMPO/Santirta M.
Kemenlu Belum Terima Bukti Pelanggaran di Ambalat

Kementerian Laur Negeri sebenarnya sudah mengirim nota protes terkait pelanggaran wilayah udara Ambalat ke Malaysia pada Februari lalu.


Dua Kapal Militer Malaysia Kembali Masuk Ambalat

13 Oktober 2009

Dua Kapal Militer Malaysia Kembali Masuk Ambalat

Dua kapal Tentara Laut Diraja Malaysia KD YU-3508 dan KD Ganas-3503 terpergok masuk ke perairan Ambalat Kalimantan Timur.


Tujuh Kapal Perang Terus Pantau Ambalat  

4 Agustus 2009

KRI / TEMPO/Fransiskus S
Tujuh Kapal Perang Terus Pantau Ambalat  

Sekitar tiga bulan terakhir ini tidak ada lagi pelanggaran batas wilayah perairan Indonesia oleh kapal asing. "Sudah tidak ada pelanggaran perbatasan," ungkap Harapap.


Ditanya Ambalat, Menteri Pertahanan Malaysia Tolak Berkomentar

28 Juni 2009

Ditanya Ambalat, Menteri Pertahanan Malaysia Tolak Berkomentar

Kami tidak membicarakan Ambalat, juga Manohara. Itu porsinya Jakarta, kata Datuk Ahmad.


Menlu Hassan Wirajuda: Ambalat Bukan Konflik Kedaulatan

22 Juni 2009

Menlu Hassan Wirajuda: Ambalat Bukan Konflik Kedaulatan

"Tidak ada satupun negera di dunia yang punya kedaulatan pada landas kontinen," ujarnya.


Menteri Luar Negeri Malaysia Kritik Pers Indonesia Soal Ambalat

16 Juni 2009

Menteri Luar Negeri Malaysia Kritik Pers Indonesia Soal Ambalat

Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk Anifah Aman menganggap pemberitaan tersebut marak terkait dengan pemilihan presiden di Indonesia 8 Juli ini.


TNI AL Bantah Larang Wartawan Ikut ke Ambalat

12 Juni 2009

TNI AL Bantah Larang Wartawan Ikut ke Ambalat

Tapi TNI memang membatasi publikasi menyangkut sengketa ambalat agar tak menambah panas dan berujung pada keresahan masyarakat.


Kedutaan Besar Malaysia Kembali Didemo

11 Juni 2009

Kedutaan Besar Malaysia Kembali Didemo

Salah seorang di antara mereka tampak mengusung sebuah poster bertuliskan "Kau Sentuh Ambalat Tubuhmu Kulumat".