TEMPO Interaktif, Jakarta -Perkara mi instan dari gandum atau sudah ditambah dengan bahan lokal seperti singkong, sagu, atau sukun sempat menjadi bahan sindir-menyindir antara calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla dalam debat calon presiden beberapa waktu lalu. Meski sampai saat ini mi instan yang ada di pasar masih menggunakan tepung terigu dari gandum, sebenarnya para ilmuwan di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan di Institut Pertanian Bogor (IPB) telah mengembangkan mi instan dari berbagai bahan makanan kaya zat pati lainnya, termasuk jagung.
Meski baru prototipe, lima mahasiswa IPB, yaitu Ari Try Purbayanto, Riza Aris Apriady, Kamalita Pertiwi, Galih Nugroho, dan Catherine Haryasyah, telah membuat mi instan berbahan baku dari jagung. Tak sekadar membuat mi instan biasa, mereka juga memperkaya mi jagung tersebut dengan berbagai mineral penting yang dibutuhkan ibu hamil dan menyusui.
Inovasi yang mereka lakukan itu berhasil meraih juara ketiga dari 16 negara peserta kategori internasional dalam dalam kompetisi internasional dalam pengembangan teknologi pangan "Developing Solutions for Developing Countries Competition." Kegiatan tahunan itu digelar oleh Institute of Food Technologists (IFT), 6-9 Juni lalu di Anaheim, Amerika Serikat.
Meski keikutsertaan dalam kompetisi internasional itu merupakan pengalaman pertama bagi kelima mahasiswa tersebut, Galih dan teman-temannya yakin bisa menang. "Karena kami paling muda, peserta lain rata-rata sudah S-2," ujar Galih.
Galih dan timnya sengaja memilih mi jagung instan untuk ibu hamil untuk diikutsertakan dalam kompetisi itu karena tingginya angka kematian ibu di Asia Tenggara masih amat tinggi, dan 40 persen ibu hamil dan menyusui mengalami kekurangan berat badan. Bahkan, angka prevalensi anemia ibu hamil di kawasan ini mencapai 75 persen. Sekitar 12-22 persen perempuan berusia 15-49 tahun menderita kekurangan energi kronis.
"Kami menambahkan zat gizi mikro yang diperlukan selama masa kehamilan seperti folate, zinc, zat besi, vitamin A, dan iodine ke dalam produk ini," kata Galih dalam konferensi pers yang diadakan Nutrifood di Jakarta pekan lalu.
Mi instan sengaja dipilih karena survei konsumen menunjukkan bahwa penerimaan pangan ini lebih tinggi daripada bahan pangan non beras lainnya. "Sayangnya, sampai saat ini mi instan yang ada di pasar masih didominasi mi dari tepung gandum yang harus diimpor karena tidak bisa ditanam di wilayah Asia Tenggara," kata Galih. "Di sisi lain, produksi jagung di kawasan ini terus meningkat, tapi sebagian besar hanya dimanfaatkan untuk pakan ternak."
Penelitian mi berbahan baku jagung sebenarnya bukan barang baru. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB sudah merintis pengembangan mi jagung sejak empat tahun lalu, lewat program RUSNAS dari Kementerian Riset dan Teknologi. "Tapi, penelitiannya baru berupa mi kering dan basah dari jagung," kata Galih. "Kami melakukan inovasi dan reformulasi menjadi mi jagung instan."
Purwiyatno Hariyadi, Direktur Southeast Asian Food Science and Technology (SEAFAST) Center sekaligus dosen pembimbing tim mahasiswa IPB, menyatakan pada prinsipnya mi dapat dibuat dari berbagai macam tepung, baik jagung, ubi, ataupun singkong. "Mi dari sumber lokal bisa dibuat dari apa saja, tak hanya jagung," katanya. Bihun pun bukan terbuat dari tepung gandum, melainkan tepung beras. Namun, tentunya mi jagung berbeda dengan mi gandum atau mi singkong."
Kunci pembuatan mi dari bahan pangan non-gandum ini, kata Purwiyatno, berada pada modifikasi bahan maupun parameter proses dan pengolahan sehingga karakternya mirip mi yang ada di pasar. Dia yakin mi instan jagung punya potensi untuk dikembangkan sebagai bahan pangan alternatif, apalagi nilai protein tinggi sekitar 28 persen dan kandungan natrium lebih rendah. "Tapi kami perlu dukungan dari pemerintah dan industri untuk pengembangan prototipe ini," ujarnya.
Meski bahan pangan lain juga bisa dibuat mi, Galih dan teman-temannya sengaja memilih jagung karena tidak memerlukan zat warna buatan untuk menghasilkan warna kuning pada mi tersebut. "Kalau mi instan biasa ditambahi zat warna agar berwarna kuning," ujarnya. "Jagung memiliki pigmen warna betaxantofil, itu alasannya mengapa kami pilih jagung."
Untuk masalah teksturnya, tim mahasiswa IPB ini melakukan modifikasi lewat teknologi pemrosesan mi, sedangkan peningkatan kekenyalan mi jagung instan dilakukan melalui proses pengukusan dan ekstrusi, yaitu penekanan bahan dengan tekanan tinggi sambil diberi uap panas sehingga tekstur yang keluar bisa lebih halus. Butuh dua sampai tiga jam untuk mengolah tepung jagung menjadi mi instan karena semua proses dilakukan secara manual.
Ada dua teknologi pembuatan mi jagung instan ini yang berbeda dengan proses mi instan gandum, yaitu pengukusan dan ekstrusi. "Mi instan biasa memakai sistem rolling untuk pembentukan. Sedangkan kalau mi jagung pakai sistem rolling, dia nggak mungkin membentuk jadi mi, pasti patah-patah jadi rapuh, tidak bisa diaduk," kata Galih.
Keterbatasan waktu persiapan kompetisi yang hanya empat bulan mengakibatkan tim mahasiswa IPB ini baru mencoba dua varietas jagung untuk mi instannya. "Varietas yang bagus untuk dibuat mi adalah jagung hibrida," ujar Galih. "Varietas lain juga bisa dibikin mi, tapi hasilnya kurang bagus dibandingkan varietas hibrida karena warnanya jadi lebih cokelat."
Warna mi yang kuning cerah memang menjadi target tim mahasiswa IPB ini. Alasannya, persepsi masyarakat mengidentikkan mi dengan warna kuning. "Kalau orang melihat warnanya sudah jelek, nggak mungkin mau makan," ujarnya. "Soal rasa memang agak berbeda, masih berasa jagungnya, tapi secara umum, rasanya agak tawar sehingga cocok dengan berbagai varian rasa.
Harga pembuatan mi jagung instan ini memang sedikit lebih tinggi, kata Ari, tapi itu terjadi karena masih dalam skala laboratorium. "Tapi masih bersainglah kalau dibuat secara massal," kata Ari.
Untuk menghasilkan mi jagung instan ini, Galih dan teman-temannya harus berulang kali bereksperimen untuk mencapai formula yang tepat. Meski telah meraih gelar juara, mereka menyatakan mi jagung ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. "Mungkin ada proses yang masih kurang atau bolong sehingga harus dilengkapi lagi dan diperluas jenis varietas jagung yang dicoba," kata Galih.
TJANDRA DEWI