Itu sebabnya harga gula mencapai lebih dari Rp 8.000 per kilogram. "Harga tebusnya di pabrik sudah tinggi," kata Nasir saat dihubungi Tempo, Senin (13/7). Nasir menjelaskan, penyebab lonjakan harga gula di antaranya pola distribusi gula yang ditangani PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan Bulog. Pola seperti ini membuat pemerintah kesulitan melakukan pengawasan.
PT Perkebunan Nusantara (PTPN), menurut Nasir, menjual gula petani ke pedagang. Bulog juga mendistribusikan 20 persen gula dari PTPN. Akibatnya, dia melanjutkan, tidak bisa diketahui gula dari mana yang mengisi pasar dan yang mana yang sebaliknya. "Harusnya satu pihak saja yang mengawasi, yaitu Bulog, jadi pemerintah bisa mengontrol," usul Nasir.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan Subagyo mengatakan harga gula sebenarnya mulai turun pada minggu pertama Juli. Semula harga rata-rata gula nasional Rp 8.535 per kilogram, turun menjadi Rp 8.497 per kilogram. Kemudian kemarin harga gula menjadi Rp 8.423 per kilogram.
Subagyo menambahkan, harga gula di 33 kota provinsi sebagian besar turun apabila dibanding antara harga rata-rata Juli dan Juni. Menurut dia, harga gula tertinggi per 13 Juli adalah di Jayapura, yaitu Rp 10 ribu per kilogram, sedangkan yang terendah di Surabaya sebesar Rp 7.250 per kilogram. Puncak musim giling, Subagyo melanjutkan, masih berlangsung pada Juli-Agustus. "Stok diperkirakan cukup dan akan dijaga untuk kebutuhan dua bulan," ia menjelaskan.
Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mencurigai spekulan dan kartel mempermainkan harga gula sehingga melonjak dari ketentuan pemerintah yang Rp 7.000 per kilogram. Harga jual gula melonjak hingga Rp 8.500-9.000 per kilogram.
Direktur Kebijakan Persaingan KPPU Taufik Ahmad mengatakan kecurigaan muncul karena distribusi gula saat penetapan harga lelang gula sebesar Rp 7.000 per kilogram, sedangkan harga dasar lelang Rp 5.350 per kilogram (Koran Tempo, 13 Juli 2009).
NIEKE INDRIETTA