TEMPO Interaktif, Jakarta -Menhir-menhir" itu terkumpul di lantai dua North Art Space Gallery, Ancol, pada 10-19 Juli 2009. Sama sekali tak keras, justru lunak, malah bisa mengundang kantuk. Isinya busa dibungkus jalinan perca warna-warni. Mirip guling berbagai ukuran yang diletakkan vertikal.
Nuri Fatima, perupa pembuatnya, memberi judul karyanya itu Strolling Down on Memory Lane. "Karya saya adalah analogi dari berbagai potongan memori, yang kadang tak lengkap, tak jelas," kata dia. Pada pameran tenun Menjalin Waktu Merajut Makna, dialah perupa termuda. Alumnus Tekstil-FSRD ITB itu berusia 25 tahun.
Pada pameran ini, ada dua kubu kontras yang dihadirkan. Tenun tradisional yang (mungkin masih) dikenal ibu-ibu rumah tangga dan tenun kontemporer. Di galeri di kawasan Pasar Seni Ancol itu, kita bisa melihat dan mencoba mesin tenun tradisional. Naik ke lantai dua, kita akan melihat seniman menunggangi teknik-teknik tenun untuk menyimpan dan membagi makna-makna. Beberapa perupa senior, muda, juga kelompok, ikut meramaikan pameran ini.
Perupa senior, Biranul Anas, memamerkan karyanya yang memakai berbagai teknik dari memilin, menjalin, mengikat. Hasilnya tampak seperti di Glares of Defiance. Wajah tiga tokoh, yaitu Imam Khomeini, Ahmadinejad, dan Usamah bin Ladin, dirajut. Lirikan mata mereka, sesuai dengan judul karyanya, menunjukkan pandangan Biranul terhadap tiga tokoh itu.
Teknik industri tekstil dipakai Radi Arwinda dengan Carpet, yang dipasangkan dengan Sofpet. Karpet bermotif ikon Apet dan motif sofa dikembangkan dari motif batik Cirebon. Unsur tradisi itu, oleh Radi, dikemas menjadi pop-ish.
Kelompok Sindikat Monster Poni (Simponi), yaitu tiga perupa muda Yogyakarta, membuat susunan huruf "MADE IN CHINA". Huruf-huruf itu terbungkus kain batik dengan motif yang biasa ditemukan pada serbet 1980-an. Bila ini dirasa ironis, silakan jalan-jalan ke Pasar Tanah Abang. Banyak batik produksi Cina bisa ditemukan di sana.
Bahan manik-manik tentu masih bisa dipakai. Tiarma Dame Ruth Sirait, lewat Culture vs Holiday, menyusun figur seorang penari tradisional. Kipas di tangan, pakaian adat dikenakan. Di atas bibir merah, sepasang mata sudah bertanda mata uang dolar.
Dari karya celup dan batik di atas sutra John Martono, jangan lupa pula Rifqi Sukma. Dia mengeksplorasi berbagai kemungkinan, lalu membuat karya yang memancing imajinasi penikmat. Silakan tengok Pillow of Surrender atau Setajam Kata yang instalatif.
Pada pameran ini, kita bisa melihat untuk mengingat berbagai motif tenun tradisional. Ada puluhan hasil tenun dari berbagai daerah. Dari motif gelap-minimalis Badui ke pola geometris berlapis khas Sumatera. Ada juga yang figuratif seperti tenun Bali dan Nusa Tenggara, hingga yang cerah ceria dari Makassar.
"Kami harap ada apresiasi dan interaksi dari yang lama dengan yang baru," kata Direktur Utama PT Ancol, Budi Karya Sumadi. Sesuai dengan karakteristik Ancol, kata dia, pameran itu akan didatangi oleh ibu-ibu (yang bakal menengok karya kontemporer) hingga kalangan muda (yang akan diingatkan terhadap karya tenun tradisional). Pengunjung pun boleh mencoba berbagai alat yang ada.
IBNU RUSYDI