"LKBB sangat terkait dengan bank, sehingga harus di-cover juga dengan JPSK," ujar Fuad saat ditemui di sela acara Panel Ahli Membangun Sistem Keuangan yang Tangguh Terhadap Krisis di Hotel Intercontinental, Jakarta, Kamis (16/7).
"Jangan hanya dilihat dari asetnya yang tak sebanyak bank, tetapi keterkaitan yang erat itu," kata Fuad. Ia mencontohkan, beberapa bank kini memiliki lini usaha asuransi. Jika ada masalah dengan asuransinya, besar peluang kinerja bank bakal terpengaruh.
Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk Mirza Adityaswara sependapat. "Kerentanan di satu lembaga keuangan dapat menular kepada lembaga keuangan lain," ucapnya. "Bahkan bisa ke sektor lain, dan pada akhirnya ke seluruh sektor ekonomi."
Mirza menyebutkan, dari sisi aset pada 2008, sejatinya porsi LKBB dari keseluruhan aset lembaga keuangan hanya 21,1 persen atau Rp 616,23 triliun. Sedangkan perbankan memiliki aset sebesar Rp 2.310,56 triliun.
Namun, Fuad beranggapan peran LKBB di masa depan akan lebih besar, sehingga layak dimasukkan dalam JPSK. "Kita bikin Undang-undang kan bukan untuk sekarang tapi untuk jangka panjang," tutur dia.
Fuad menampik kekhawatiran bahwa dimasukkannya LKBB berarti negara otomatis mengucurkan dana talangan (bail out) kalau LKBB dilanda masalah. "Keputusan ada di tangan Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang tidak sembarangan menghasilkan kebijakan," kata dia.
"Tiap keputusan pasti disertai pertimbangan mendalam dan didukung data," Menurut dia, hanya lembaga keuangan, baik bank maupun LKBB, yang menimbulkan dampak besar terhadap sistem (sistemik) saja yang akan diberi dana talangan.
Tapi bagaimana jika lembaga keuangan yang bersifat sistemik itu sesungguhnya dimiliki asing? Bukankah berarti pemerintah bakal memberi uang untuk negara lain? "Jangan berandai-andai," kata Fuad menutup percakapan.
BUNGA MANGGIASIH | RIEKA RAHADIANA