TEMPO Interaktif, Jakarta - Tubuh lelaki itu berlutut dan kedua tangan bertumpu di lantai. Ia memakai kaus dan sepatu kets. Dari kepalanya yang berbunga, terjulur serupa belalai yang menempel di sepotong tengkorak. Selang-selang terhubung ke dada dan punggung. Dengan kepala yang seperti binatang, tubuh itu juga berekor seperti tapir. Absurd.
Karya yang mencampuradukkan manusia, tanaman, binatang, dan lain-lain itu, diberi judul Mulut dan Kepalaku Telah Berbunga Untukmu. Karya trimatra itu, di Galeri Nadi, Jakarta Barat, diletakkan di atas sebuah karpet, yang juga merupakan karya seni berjudul Underpressure Live Style. Corak karpet bordiran itu juga aneh. Tengkorak muncul lagi bersama figur makhluk aneh, dan tubuh yang kepalanya tertutup semacam topeng.
Gaya rupanya sangat khas Eko Nugroho. Perupa lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) 2006 (masuk 1997) itu, sudah menorehkan gaya komikal yang sama di berbagai karyanya. Selalu saja ada figur setengah manusia, dengan wajah yang tak pernah terlihat. Entah terbungkus topeng, atau justru diganti dengan potongan mesin, atau anggota tubuh binatang. Tokoh lainnya adalah figur binatang, juga dengan anggota tubuh yang dicomot dari mana-mana. Sungguh ganjil.
Campur-mencampur figur, alias pating tlecek, menjadi tema pameran Eko Nugroho itu, In The Name of Pating Tlecek. Di Galeri Nadi, ia membuat mural di dinding. Juga figur dari kertas yang potongannya menempel di langit-langit, sepotong lagi menjuntai. Ada bentuk-bentuk tiga dimensi, lukisan di kanvas, dan teks verbal di dinding-dinding. Bordir, yang menjadi area spesialisasi Eko di ranah seni kontemporer Indonesia, tentu dipajang pula.
Tengok juga, seorang pria yang duduk di bangku panjang. Tubuhnya dibungkus jaket hijau. Ia memakai helm. Seluruh pakaian "pengendara motor" itu bermotif bordir bila didekati, yang membungkus tubuh dari bahan resin. Di kedua tangan yang telapaknya terbuka, ada pedang kecil bordiran. Karya berjudul Menunggu Rebusan Impian itu menjejak kakinya di atas karpet Rejeki di Tangan Televisi.
Masih ada lagi Be Proud of Your Flag: empat pria berjongkok memegang panji-panji berlogo pohon, robot, babi, dan tengkorak. Wajah keempatnya terbungkus topeng kain berbahan seperti pelapis tempat tidur. Salah satu sosok bahkan berbungkus selimut batik.
Yang juga menarik adalah Panic. Lima kereta belanja berisi barang cemilan, dengan tengkorak besar di atasnya. Warna-warni mencolok tengkorak membuatnya tidak menyeramkan. Pada troli itu ada motor elektrik yang bila dinyalakan, maka kereta-kereta belanja itu saling bertubrukan. Maknanya terserah yang melihat sajalah.
Di dinding galeri, terlihat banyak celoteh verbal Eko, yang menemani sosok-sosok komikalnya. Seperti "berhadap-hadapan dengan cacing tanah", "UFO yang dikendalikan diabetes", dan "retro teror". Permainan bahasa serupa bisa dilihat di seri komik Daging Tumbuh yang digagas Eko.
Daging Tumbuh sepertinya tepat untuk merumuskan keganjilan figur-figur Eko Nugroho. Nama itu sendiri, 12 tahun lalu, sempat diusulkan Eko kepada teman-temannya sebagai nama band. Temannya menolak nama yang aneh itu. Trio band itu pun gugur sebelum bertumbuh. "Mereka ingin nama yang biasa dipikirkan orang. Saya malah ingin memberontak," kata Eko kepada kurator pameran, Enin Supriyanto. Kengototannya dengan Daging Tumbuh itu mendorongnya memberontak dengan teks.
Nama itu lalu dipakai untuk komunitas lintas disiplin seni di ISI. Terdiri dari belasan mahasiswa seni, mereka menawarkan diri berpameran di galeri-galeri sekitar. Selama tiga tahun, kelompok ini selalu ditolak karena belum ternama. Eko lalu menggagas sebuah bentuk "galeri" yang lain, tempat perupa-perupa bisa berpameran dengan murah.
Galeri itu adalah komik bernama Daging Tumbuh. Dengan urun sumbangan Rp 20 ribu per orang, perupa-perupa muda itu membuat karya komik yang dibagikan dengan modal fotokopi. Daging Tumbuh lalu menjadi semacam kelompok perupa, seperti Taring Padi dan lainnya. "Kini sudah jalan sembilan tahun," kata Eko.
Figur-figur ganjil Eko muncul sejak 2002, saat ia berpameran di Galeri Cemeti, dengan tajuk Bercerobong. Tokoh seperti mutan dengan tubuh campur aduk, menjadi ciri khas yang mendominasi karya Eko. Karakteristik itu, kata Eko, muncul dari kegemarannya terhadap kartun dan tokoh fantasi pada '80-an, macam Megaloman. "Kadang saya ingat tokoh semacam itu. Saya ingat tangannya, helmnya, kostumnya," ujarnya. Potongan memori itulah yang nongol pada karyanya.
Sejak 2002 itu pula, Eko mempunyai rumusan terhadap karya-karyanya. "Yang saya buat adalah gabungan binatang dan mesin. Manusia punya kedua unsur itu," ujarnya.
Menurut Enin Supriyanto, bordir telanjur melekat dengan Eko. Bahkan, kata dia, bila ada perupa yang menghasilkan karya bordir juga, mungkin akan dicap mengekori Eko Nugroho. Kesukaan si perupa sendiri berawal dari kegemaran menempel stiker di jalan-jalan. Ia lantas mencoba menempel bordir, yang ternyata selalu lenyap. "Jadi saya terpikir untuk membuat lagi," kata Eko.
Dari bordir emblem, ukuran bordirnya makin besar dan tebal. Salah satu karyanya muncul juga di pameran tekstil di North Art Space Gallery, Ancol. Karpet yang agaknya aneh bila dijadikan alas kaki berpijak.
Eko Nugroho telah merambah berbagai bidang seni rupa, bahkan hingga ke animasi. "Saya ingin terus bereksplorasi. Kalau kemauan eksplorasi sudah tak ada lagi, berarti saya sudah selesai," ujar dia. Selanjutnya, bukan tidak mungkin jika Eko akhirnya beranjak dari figur itu-itu lagi, dan menemukan bentuk-bentuk baru, yang bisa jadi tetap ganjil juga.
IBNU RUSYDI