Djamal mengatakan data statistik yang dikeluarkan oleh BPS harus dipahami dulu konsepnya. Konsep yang digunakan masyarakat harus disesuaikan dengan tolok ukur BPS. Dia mencontohkan pertumbuhan ekonomi rendah selalu disimpulkan bahwa tingkat pengangguran bertambah. Padahal, kata Djamal, belum tentu demikian. Hal ini disebabkan pegawai tingkat bawah yang dipecat akan mencari pekerjaan serabutan.
Ia menjelaskan, menurut standar negara berkembang, orang yang bekerja minimal satu jam dalam seminggu tidak termasuk pengangguran. "Jadi bisa saja pertumbuhan ekonomi rendah, tapi angka pengangguran tetap," ujarnya.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Hukum BPS M. Sairi Hasbullah juga mencontohkan data kemiskinan yang dikeluarkan lembaganya kerap disalahpahami oleh beberapa pihak.
Menurut dia, garis kemiskinan dalam dolar yang digunakan Bank Dunia bukan dalam pengertian kurs, melainkan purchase power parity. "Artinya dengan US$ 1 dibelanjakan di Amerika Serikat, maka dihitung nilai setaranya dalam rupiah jika barang itu diperoleh di Indonesia," katanya.
Dia mengatakan US$ 1 PPP setara dengan Rp 3.240 per orang per hari. Sehingga sangat menyesatkan, ujar Sairi, jika dikatakan angka US$ 2 Bank Dunia itu disetarakan dengan Rp 20 ribu.
Jika berpatokan pada purchase power parity, Sairi memaparkan, batas garis kemiskinan di Indonesia masih lebih layak dibandingkan dengan Cina dan India. Di Indonesia nilai purchase power parity mencapai US$ 1,6, sedangkan di India hanya US$ 1.
DESY PAKPAHAN