TEMPO Interaktif, Jakarta - Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mengatakan, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) belum memutuskan status akhir semburan lumpur Lapindo. Namun, ia sebagai anggota BPLS tetap berpendapat penyebab semburan itu bukan bencana alam. "Mestinya bukan bencana alam," kata Rachmat melalui telepon kepada Tempo, Senin lalu.
Ia menunjuk hasil penelitian sejumlah geolog dan aktivis lingkungan hidup yang menyatakan penyebab semburan bukan bencana alam. Namun, dalam rapat-rapat yang digelar BPLS, Rachmat mengakui hampir semua anggota berpendapat hal itu karena bencana alam yang dipicu oleh industri. "Tetapi ini belum menjadi putusan akhir."
Rachmat belum mengetahui kapan pemerintah memutuskan status semburan lumpur Lapindo tersebut. Yang pasti, Polda Jawa Timur sudah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus Lapindo. Keputusan ini mendapat dukungan Markas Besar Kepolisian RI.
Artinya, polisi tidak menemukan bukti kuat bahwa semburan lumpur yang berakibat ribuan orang sengesara karena kehilangan tempat tinggal itu akibat kelalaian atau ada unsur kesengajaan. "Kalau ada yang keberatan atas kebijakan itu dipersilakan melayangkan gugatan praperadilan," kata Kepala Divisi Humas Markas Besar Polri Inspektur Jenderal Nanan Soekarna.
Yang penting, kata Rachmat Witoelar, saat ini PT Lapindo Berantas, anak usaha Grup Bakrie, wajib memberikan ganti rugi kepada warga yang menjadi korban hingga tuntas.
Adapun Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur mendesak pemerintah tidak mengubah status bencana Lapindo menjadi bencana alam.
Baca Juga:
Apalagi kalau hal itu hanya didasari terbitnya surat perintah penghentian penyidikan oleh Kepolisian Daerah Jawa Timur pada 5 Agustus lalu. "Pemerintah harus fair. Masih banyak ahli yang 99 persen yakin ini akibat ulah Lapindo," kata Direktur Walhi Catur Bambang Nusantara.
Mayoritas ahli geologi dan perminyakan dunia, kata Catur, yakin bencana lumpur itu akibat aktivitas pengeboran di Sumur Banjar Panji 1 milik Lapindo Brantas Inc. Walhi mencontohkan hasil analisis dari TriTech Petroleum Consultants Limited yang diberikan kepada Medco Energi International. "Hasil dari TriTech itu jelas Lapindo salah sehingga Medco tidak mau bertanggung jawab."
Lapindo Brantas merupakan operator Blok Brantas, yang 50 persen sahamnya dimiliki oleh Lapindo, 32 persen Medco, dan 18 persen Santos. Menanggapi soal status akhir lumpur Lapindo, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memilih bungkam. "Saya belum mau berkomentar soal hal itu," katanya, Senin lalu.
Sedangkan Presiden Komunikasi dan Sosial Lapindo Brantas, Yuniwati Terryana, memastikan akan tetap mematuhi Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, sekalipun status itu nantinya berubah menjadi bencana alam. "Lapindo tetap melaksanakan pembayaran jual-beli tanah dan bangunan hingga 2012," kata dia.
Ia menambahkan, Lapindo memang menjadwalkan, pembayaran kepada seluruh warga yang terkena dampak semburan akan rampung pada 2012. Total biayanya mencapai Rp 8,5 triliun.
Sedangkan pembayaran infrastruktur yang rusak, Yuniwati berpegang pada Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007. "Infrastruktur bukan bagian Lapindo, melainkan (tanggung jawab) pemerintah."
FATKHURROHMAN TAUFIQ I AGOENG WIJAYA I MARIA HASUGIAN