Nasi Bungkus Daun Pisang di Komunitas Salihara  

TEMPO Interaktif, Jakarta - Kebersahajaan diiringi kesyahduan berbuka puasa begitu tampak di taman seluas 30 X 40 meter persegi. Puluhan orang itu membuat formasi berkelompok. Mereka menanti bedug maqrib sambil berdiskusi ringan disebuah gedung di Jalan Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Langit menggelap ketika azan mangrib berkumandang. Satu persatu pengunjung laki-laki dan perempuan bergerak ke satu titik. Berbaris mengambil nasi bungkus daun pisang, kolak, dan air putih dalam kemasan. Mereka inilah peserta pengajian Islamofobia di Dunia Barat di gedung itu tadi malam.

Suasana akrab menambah gairah kesegaran berbuka puasa. Setiap pengunjung yang saling kenal, dengan sendirinya membentuk kelompok. Terlihat empat hingga enam orang di sudut-sudut taman. Ada kisaran enam kelompok yang asyik bercerita.

Sembari membatalkan puasa, sayup terdengar obrolan santai tentang filsafat dan analisa sosial di tengah suara canda sesama pengunjung perempuan yang merumpi. "Saya biasa datang setiap ada agenda diskusi di Salihara," kata Muhammad Iqbal kepada Tempo.

Menurut pria 28 tahun yang giat di Lembaga Studi Agama dan Filsafat ini, Komunitas Salihara hampir setiap minggu mengadakan diskusi dengan tema yang berbeda-beda. "Kadang politik, ekonomi, filsafat. Tergantung momen," ujar dia.

Komunitas ini, kata Iqbal, hadir pada saat kaum akademisi mulai kehilangan ruang pertarungan intelektualnya. Tema diskusi yang digelar sejak Selasa lalu, masalah modernitas. Sejumlah tokoh hadir seperti Soraya Haque, Kak Seto, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta  Komarruddin Hidayat, Alex Komang, Gunawan Muhammad, dan Ulil Abshar Abdalla.

MUSTHOLIH