Menahan Lapar di Negeri Banyak Orang Tak Puasa

TEMPO/Mustolih
TEMPO/Mustolih
TEMPO Interaktif, Jakarta - Suatu ketika di bulan puasa tahun pertama tinggal di Amerika Serikat, satu keluarga kecil berkewarganegaraan Indonesia dilanda kebingungan. Ini merupakan pengalaman pertama mereka berpuasa di suatu negara mayoritas non muslim.

Sang ayah bingung cara menjelaskan puasa anaknya kepada guru sekolah dan ragu buah hatinya dapat bertahan menahan lapar dan haus di tengah anak-anak yang berbeda keyakinan.
Akhirnya ia memutuskan datang ke sekolah dan menjelaskan perihal puasa anaknya. Pada mulanya pihak sekolah kaget, tapi itu hanya sementara. Tanpa diduga, pimpinan sekolah menghimbau kepada seluruh murid agar menghormati puasa anak Indonesia itu.

Itulah sepenggal kisah kehidupan beragama di Amerika yang ternyata jauh dari islamofobia (ketakutan akan Islam). Tentunya, kenyataan itu berbanding terbalik dengan pencitraan barat terhadap Islam di berbagai media. Sang ayah itu adalah Ulil Abshar Abdala.

Menurut Ulil, pengalamannya tinggal di negeri Abang Sam tidak pernah mengalami insiden islamofobia. "Kecuali di Massachussetts, ada pembangunan masjid yang terkatung-katung sampai sekarang. Itupun karena bendahara panitia dicurigai terlibat kejahatan," kata tokoh Islam liberal di Kominitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, tadi malam.

Agama dalam peradaban barat, kata pria 42 tahun ini, meski setiap negara menggunakan pendekatan yang berbeda, agama diletakkan sebagai bagian dari kebudayaan. "Inggris menganut multikulturalisme yang memandang setiap komunitas punya kebudayaan yang tidak bisa dipaksakan berasimilasi. Sedangkan Prancis sebaliknya, memaksakan asimilasi," ujar dia.

Jika pendekatan ini dipahami, lanjut Ulil, akan menjadi wajar apabila Prancis melarang orang Islam memakai jilbab di tempat umum. "Saya memahami Prancis menjaga Islam sebagai subkultur agar tidak terpisah dengan kultur yang lain," ungkap Ulil. Dua pendekatan yang bertolak belakang ini, menurut Ulil, diadopsi Amerika dalam memelihara inklusivitas beragama warga negaranya. "Amerika mengambil jalan tengah."

Mengambil sikap multikulturalisme Inggris dan asimilasi Prancis, Ulil melihat keinginan orang Islam terintegrasi dengan kebudayaan setempat cukup tinggi. Kesimpulan itu Ulil ambil berdasarkan pengalamannya bertemu dengan perempuan berjilbab dalam parade di Boston. "Saya melihat dia pakai kaos hijau bergambar Rolling Stone," ujar Ulil sambil tertawaa.

Ternyata, kata dia,  kerangka berpikir orang Islam di Amerika secara keseluruhan sama dengan warga biasa yang menyukai musik rock, football, makan hamburger dan sebagainya. "Mereka tetap menjaga identitas, tapi di sisi lain juga menyerap budaya pop Amerika," ungkap Ulil.

Sejatinya yang menjadi tantangan bagi Amerika adalah menciptakan imam-imam lokal yang mampu mensiarkan Islam sesuai dengan idiom-idiom mereka. "Itu juga sudah dirintis oleh Hamzah Yusuf, seorang muallaf," ujar Ulil. Tapi bagaimana pun juga, Ulil tidak menafikan di sebagian masyarakat Amerika masih ada rasa ketakutan terhadap Islam. "Terutama kalangan konservatif."

Menurut Ulil lagi, Amerika terdiri dari dua golongan, liberal dan konservatif. "Orang liberal lebih menghargai minoritas," kata Ulil. Sementara golongan konservatif mengidap islamofobia karena rasa takut kehilangan budaya asli mereka. "Mereka fobi bukan dengan Islam saja. Mereka konservatif dalam segala hal. Mereka takut budaya asli mereka hilang," beber Ulil.

MUSTHOLIH