TEMPO Interaktif, Jakarta - Ia bukan “ahli jihad” sembarangan. Terlibat serangkaian kasus kekerasan di Poso, Sulawesi Tengah, Agus Purwantoro lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga pada 1997. Ia antara lain terkait dengan kasus mutilasi tiga siswi, perampokan toko emas, penembakan terhadap Kepala Kepolisian Resort Poso, dan menyembunyikan sejumlah buron polisi. Tiga tahun lebih diburu polisi, Agus ditangkap polisi Malaysia, tahun lalu. Nama aliasnya berderet: Deddy Acmadi Machdan, Tri Sutanto, Idris, Abbas, dan Sofian. Februari lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman delapan tahun penjara buat pria kelahiran 19 Agustus 1969 itu.
Agus menjadi anggota Jemaah Islamiyah sejak 1993. Enam tahun kemudian, pada bulan Agustus, ia berangkat ke Kamp Hudaybiyah, Filipina Selatan, bersama 21 orang lainnya. Tahun berikutnya, ia dikirim oleh Wakalah Jawa Timur untuk berangkat ke Poso. Di sana, ia menularkan hasil pendidikannya di Filipina Selatan dengan membentuk pelatihan militer di daerah pegunungan Desa Tongko, Kecamatan Tojo, Kabupaten Tojo Una-una.
Tulisan ini dibuat berdasarkan pengakuannya, untuk menggambarkan cara para buron, terutama dari kelompok Jemaah Islamiyah, melarikan diri dari kejaran polisi. Agus lari ke Malaysia dengan paspor palsu. Cara serupa juga dipakai para tersangka lain, termasuk Hambali, pria asal Cianjur, Jawa Barat, yang hingga kini masih ditahan dinas rahasia Amerika Serikat, CIA. Tulisan ini merupakan bagian ketiga dari tiga tulisan.
***
Pada 29 Januari 2008 sekitar pukul 07.00, Agus Purwantoro dan Abu Husna menuju Bandara Soekarno-Hatta. Mereka diantar seseorang yang mengaku bernama Rudi, yang mempertemukan keduanya dengan “calo bandara”. Sang calo memperlancar pemeriksaan paspor Agus –yang menggunakan nama Tri Sutanto-- dan Abu Husna.
Ketika hendak masuk ruangan cek in, sang calo meminta Agus dan Abu Husna mengisi formulir keberangkatan. Sang calo pula yang mengurus pembayaran biaya fiskal. Selesai, keduanya lalu menuju pintu pemeriksaan imigrasi. Sang calo “menitipkan” kepada seseorang yang mengantar dan mengawasi keduanya masuk pintu pemeriksaan. Lolos: keduanya mulus melewati pintu imigrasi.
Pada 09.30, Agus dan Abu Husna sudah berada di pesawat Lion Air. Agus duduk di kursi 9A, Abu Husna di 9C. Dua jam perjalanan, mereka tiba di Kuala Lumpur pukul 12.30 waktu setempat. Mereka sama sekali tak menemui hambatan melalui pemeriksaan imigrasi. Seperti dijanjikan, Patria menjemput mereka di pintu keluar bandara. Ia mengantar dua koleganya menuju Hotel BB Lodge, Bukit Bintang, Kuala Lumpur. Agus dan Abu Husna menginap di kamar 201.
Esok harinya, mereka menghubungi telepon Patria dan sepakat bertemu di KFC, Pasar Seni, Kuala Lumpur. Patria ditemani seseorang, belakangan diketahui bernama Jafar dari Aljazair. Dengan Bahasa Inggris, Jafar menjelaskan rencananya berangkat ke Timur Tengah pada 4 Februari 2008. Ia menyerahkan tiket Qatar Airways tujuan Suriah dan paspor. Kali ini, Agus dan Abu Husna kembali harus berganti nama. Agus memakai paspor nama Deddy Achmadi Machdan, Abu Husna memakai paspor Oktariadi Anis. Malam harinya, Patria datang ke kamar 201 Lodge Hotel dan mengambil paspor pertama mereka.
Pada 31 Januari, empat hari sebelum "kebebasan" mereka ke Timur Tengah, sekitar pukul 23.30, seseorang mengetuk pintu kamar. Begitu pintu dibuka, beberapa orang berpakaian dinas Polisi Diraja Malaysia menyerbu masuk. Sebagian lainnya berpakaian biasa sipil. Mereka menggeledah badan, pakaian, lemari, kamar mandi, ranjang, dan tas pakaian Agus dan Abu Husna.
Polisi menemukan paspor di tas pinggang Agus. Mereka menghardik, “Siapa kamu?” Agus menjawab: “Saya Deddy Achmadi Machdan.” Polisi mengatakan “Kami mencurigai paspor ini palsu, dan Anda kami bawa ke kantor”. Keduanya digelandang ke kantor Polisi Diraja Malaysia di Bukit Aman, Kuala Lumpur.
Malang bagi Agus, ia belum menghapal data-data Deddy yang tertera di paspor. Ia pun gelagapan ketika terus dicecar, ditanyakan identitasnya. Ia menyerah, terus terang mengakui bahwa paspornya palsu. Polisi menanyakan identitas sebenarnya. Agus menjawab: Tri Sutanto. Ia masih menghapal data-data paspor pertamanya.
Pada 2 Februari 2008, interogasi dilanjutkan. Saat itulah Agus mengaku. “Saya Dokter AGUS PURWANTORO, lahir di Surabaya 19 Agustus 1969.” Polisi menahannya selama sebulan. Tuduhannya, mengancam keselamatan Negara Malaysia dan terlibat dalam kegiatan Jemaah Islamiah (JI). Pada 27 Pebruari 2008, penahanan diperpanjang selama 30 hari dan berakhir 31 Maret 2008.
Sebelum masa penahanan berakhir, pada 28 Maret 2008, Agus dideportasi ke Indonesia. Ia dan Abu Husna diterbangkan dengan Malaysia Airways. Pada pukul 17.30, mereka tiba di Bandara Soekarno-Hatta. Keluar dari pesawat, polisi dari Satuan Tugas Antiteror Kepolisian telah menunggu. Pelariannya selama tiga tahun berakhir di pintu pesawat. (Selesai)
BUDI SETYARSO
BERITA TERKAIT:
Pelarian Anggota JI, Sebulan Pindah Enam Rumah (1 dari 3)
Pelarian Anggota JI, Membuat Paspor Palsu (2 dari 3)
Pelarian Anggota JI, Dibantu Calo Lolos ke Kuala Lumpur (3-Habis)