Sebabnya, bila dihitung dari Juni maka pada bulan berikutnya pertumbuhan ekspor kalah pesat ketimbang impor. "Ekspor naik 2,85 persen menjadi US$ 9,65 miliar, sedangkan impor naik 9,48 persen ke US$ 8,69 miliar," ujar Kepala Badan Pusat Statistik Rusman Heriawan di Jakarta, Selasa (1/9).
Ekspor minyak dan gas naik tipis 1,28 persen menjadi US$ 1,47 miliar, sementara ekspor minyak gas meningkat 3,14 persen. Impor minyak dan gas melesat 27,4 persen menjadi US$ 1,84 miliar, sedangkan impor non-minyak gas terkerek 5,51 persen ke US$ 6,85 miliar.
Secara kumulatif nilai ekspor Januari hingga Juli tahun ini US$ 59,72 miliar, merosot 27,98 persen dibanding periode sama tahun lalu. Adapun impor melorot 35,83 persen menjadi US$ 50,07 miliar.
Dari segi penggunaan barang, impor barang konsumsi pada Juli meroket 35 persen ketimbang Juni, yakni menjadi US$ 742 juta. Bahan baku/penolong dan barang modal masing-masing bertambah 5,12 persen dan 16,91 persen menjadi US$ 6,15 miliar dan US$ 1,79 miliar.
Petumbuhan impor bahan baku/penolong dan barang modal yang tak sepesat barang konsumsi ini dinilai Rusman sebagai pertanda masih suramnya prospek industri domestik yang berbahan baku impor. "Misalnya, industri otomotif dan industri kimia," ucapnya.
Namun, bukan berarti kinerja industri secara keseluruhan suram pula. Industri berbasis bahan lokal seperti mebel dan kertas dipandangnya masih tumbuh baik.
BUNGA MANGGIASIH