Sebagaian besar ulama menafsirkan malam tersebut jatuh pada malam-malam ganjil di akhir Ramadhan, yaitu pada malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29 bulan Ramadan.
Dalam tafsir Al-Azhar, karangan H. Abdul Malik Karim Amrullah disebutkan satu hadits bahwa pada malam Al Qadr adalah malam ke-27 Ramadan. Namun belakangan, Buya Hamka -panggilan H Abdul Malik Karim Amrullah- membantah sendiri hadits itu. Hamka menyebut hadits tersebut dhoif (lemah), dan tidak patut menjadi dasar penentuan waktu hadirnya lailatul qadr.
Rasulullah SAW sendiri tidak pernah meriwayatkan ciri-ciri malam yang dimuliakan itu, ia hanya menganjurkan umatnya i'tikaf (berdiam diri di masjid) selama 10 hari terakhir. Siti Aisyah (istri Rasulullah) meriwayatkan, "Sesungguhnya Nabi ketika memasuki 10 hari terakhir Ramadan, ia mengencangkan ikat pinggangnya dan berdiam diri di masjid."
Ustadz Muchlis Toyyib, menjelaskan besaran pahala orang beribadah di malam turunnya Al-Quran dijelaskan pada sebab-musabab turunnya surah (asbabun nuzul) Al Qadr.
Ketika itu, ada empat orang Quraish tekun beribadah selama 80 tahun. Sementara umat muslim lainnya mulai resah, merasa amalan ibadahnya sedikit dibanding keempat orang tersebut. Kemudian turunlah Malaikat Jibril membacakan keutamaan surah Al Qadr dibanding malam-malam lainnya. Menurut Ustadz Muchlis, jika dihitung amalan ibadah pada malam Al Qadr (artinya malam 1.000 bulan) ke dalam jumlah tahun, maka pahalanya masih lebih besar dari ibadah yang dilakukan oleh keempat orang Qurais itu, yaitu sama dengan beribadah 83 tahun lebih secara terus menerus.
Ibadah-ibadah yang dianjurkan pada malam mulia itu adalah mendirikan salat pada malam hari, dan banyak membaca Al Quran di siang hari. "I'tikaf atau berdiam diri bisa dimulai pada hari ke-21 besok, Jumat (11/9), setelah shalat subuh," kata Ustad Muchlis, dalam ceramah agamanya di Islamic Center Bekasi, seusai shalat tarawih, Kamis (9/9) malam.
HAMLUDDIN
