TEMPO Interaktif, Banda Aceh - Ketua Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, Ifdhal Kasim, mengatakan Qanun Jinayah yang memuat hukum rajam, yang baru disahkan di Aceh, melanggar semangat perlindungan Hak Azasi Manusia. “Hukum rajam itu juga menurunkan martabat manusia dan menyiksa,” ujarnya kepada Tempo, Selasa (15/09) di Banda Aceh.
Qanun Jinayah yang memuat tentang hukum rajam bagi penzina yang sudah menikah dan juga hukuman cambuk disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Senin (14/9) kemarin. Pro-kontra kemudian muncul terkait hal tersebut.
Menurut Ifdhal, hukum rajam jelas melanggar hukum positif yang berlaku di Indonesia. Rajam juga melanggar Konvensi Internasional Anti Penyiksaan yang telah dirativikasi pada 1998. “Kalau ada hukuman yang sejenisnya tetapi menyiksa, itu juga melanggar,” ujarnya.
Hukuman rajam juga bertentangan dengan semangat konstitusi amandemen kedua Hak Asasi Manusia tentang jaminan perlindungan hak azasi termasuk tidak boleh dilakukannya hukuman yang kejam.
Ifdhal mengatakan memang benar Aceh telah diberikan otonomi luas untuk melaksanakan dan menerapkan berbagai aturan. Termasuk melaksanakan syariat Islam. Tetapi apapun dasarnya, harus tetap diletakkan dalam sebuah kerangka nasional dan hukum yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan kerangka hukum nasional. “Menerapkan hukum sesuai syariat Islam boleh-boleh saja, tapi haruslah dekat dengan masyarakat dan negara. Artinya juga menghormati HAM," ujar Ifdhal. Kata Ifdhal, qanun tersebut perlu ditinjau ulang di Aceh, sebelum menimbulkan polemik yang lebih besar di masyarakat Aceh.
Sementara itu, Pemerintah Aceh sendiri masih belum setuju dengan pemberlakuan hukuman rajam yang tertera pada Qanun Jinayah tersebut. Wakil Gubernur Muhammad Nazar berjanji akan berupaya membicarakan hal tersebut dengan Dewan di Aceh. “Kita berada dalam posisi dilematis. Apapun undang-undang yang disahkan, wajib untuk dilaksanakan. Tapi posisi kita tetap menolak rajam masuk dalam qanun. Jadi ini disahkan dengan catatan,” kata Nazar.
Menurut Nazar, masyarakat Aceh belum siap untuk hukum rajam itu. Dia mempertanyakan, berapa persen masyarakat yang mengerti dan memahami dasar-dasar Islam secara benar. Pihaknya terus mencoba dan meminta untuk disesuaikan lagi, karena dulunya draft rancangan qanun yang diajukan oleh eksekutif tidak seperti yang ada sekarang. “Bukan rajam, tetapi lebih pada denda-denda dan hukum adat bagi para pelanggar," ujar Nazar.
ADI WARSIDI