Pekan lalu, Badan PBB yang mengurusi pendidikan dan kebudayaan (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization atau UNESCO) telah memasukkan batik sebagai warisan kulturan dunia. Keputusan itu dianggap penting bagi kalangan nasionalis di Indonesia, yang selama ini geram denga klaim Malaysia terhadap budaya Indonesia.
Dan awal Oktober nanti akan diadakan "pesta" penyambutan. Untuk menyambut "kemenangan" ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah meminta seluruh orang Indonesia mengenakan baji batik pada hari acara tersebut digelar, 2 Oktober 2009.
"(Kemenangan) ini penting karena akhirnya dunia mengakui batik adalah tradisi khas Indonesia," kata Obin, desainer Indonesia terkemuka yag kerap memakai bahan batik. "Ini adalah bagian dari jiwa kami," katanya kepada New York Times.
Namun, membanggakan kemenangan hak cipta batik--mulai dari menggambar pola di kain putih, melapisi dengan lilin, memberi warna, dan mencelupnya--hanya satu dari sekian banyak isu yang membuat panas hubungan Indoneisa-Malaysia. Sebelumnya ada kasus perebutan wilayah perairan Ambalat, di timur Kalimantan, lalu pemakaian lagu "Rasa Sayange", tari pendet dalam kampanye pariwisata Malaysia yang berjuluk: "Malaysia Truli Asia".
Malaysia sendiri merasa tak sedang berperang. Juni lalu, menteri pertahanan Malaysia menyatakan hal tersebut bahwa dua negara sedang tak berperang.
Mereka menganggap memang ada kesamaan budaya antara Indonesia dan Malaysia. Sejarah telah mengalirkan budaya yang sama, agama yang sama juga bahasa yang sama. Kedua negara ini benar-benar berperang pada 1960 semasa Presiden Sukarno di beberapa wilayah di Kalimantan. Tapi itu berpuluh tahun lewat.
Kini, yang terjadi banyak orang Indonesia marah karena Malaysia dianggap mencuri tradisi Indonesia. Contohnya, reog Ponorogo atau lagu "Rasa Sayange". Saking marahnya mereka menjuluki Malaysia sebagai "Malingsia". "Maling" artinya "mencuri", "sia" dalam bahasa Sunda artinya "kamu".
Kemarahan tersebut tak sepenuhnya betul. Contohnya, lagu "Rasa Sayange" tak murni asli Indonesia. Lagu ini masuk Indonesia saat Belanda menjajah negeri itu. Lagu itu juga muncul dalam film Belanda pada 1925. (klik di sini untuk videonya).
Menteri Pariwisata Malaysia Datuk Seri Dr. Rais Yatim mengatakan, bahwa lagu itu milik dua negara. "Saya telah bertemu dengan menteri Indoensia, lagu itu milik dua negara."
Sebagian masyarakat Indonesia telanjur marah kepada Malaysia. Negeri itu dinilai menyakit Indonesia: mulai dari soal penyiksaan Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia yang kerap terjadi, perebutan perairan ambalat, soal reog, lagu Rasa Sayange sampai urusan penyiksana terhadap Manohara Odelia Pinot, artis baru, oleh pangeran Malaysia. Gara-gara kasus-kasus itu ada sekelompok orang yang siap berangkat memerangi Malaysia.
Tapi, Ahmad Zahid Hamidi, Menteri Pertahanan Malaysia, mengatakan bahwa dia telah bertemu Menteri Pertahanan Indonesia Juwono Sudarsono. Mereka menjamin, "kedua negara tak akan berperang."
Dengan serentetan kasus itu, maka kemenangan upaya perlindungan batik sebagai tradisi Indonesia dianggap penting. Pemerintah Indonesia telah berjuang mendapatkan pengakuan ini. Mereka juga berjuang melindungi batik dari
pencuri motif yang dilakukan pengusaha Cina.
Sejumlah pejabat Indonesia sendiri serius mendukung melindungi batik. Menteri Keuangan Sri Mulyani, adalah salah satu menteri yang menjadi ikon batik nan elegan karena selalu mengenakan batik setiap pekan. Sejumlah kantor pemerintah juga mewajibkan adanya wajib "Jumat Batik", yakni wajib pakai batik di hari Jumat.
Pemerintah saat ini juga telah mendapatkan hak cipta bagi 300 desain bati Indonesia. Kebanyakan hak cipta itu didapat setelah 2007.
"Sekarang tak ada pertanyaan lagi, batik itu dari indonesia," kata Ari Safitri, 22, orang yang mengurus pola batik di Danar Hadi Museum di solo. "Setiap turis selalu bertanya apakah batik ini dari Malaysia."
"Bagi orang Indonesia mematenkan batik itu penting," kata Farish Noor, pengajar di S. Rajaratnam School of International Studies di Nanyang Technological University Singapura seperti dikutip Straits Times. "Padahal, di masa kolonial, penjajah melebarkan kekuasaannya melewati batas-batas negara," kata Noor. "Itu mengabaikan fakta bahwa banyak orang Indonesia yang membawa kebudayaannya ke negara lain, mereka tinggal dan hidup dengan tradisi itu."
Bagi penjual batik seperti Gunawan Setiawan, tak penting batik punya siapa. Dia telah berjualan batik sejak 1970 di pasar lama Solo. Pertikaian batik antara Indonesia-Malaysia itu justru membuat batik popular.
"Sejak 1970, permintaan pasar batik terbesar adalah beberapa tahun terakhir, setelah ada konflik dengan Malaysia," katanya di rumahnya yang merupakan pabrik batik. Dia berdiri di antara sejumlah perempuan yang sedang membatik. "Saya tak yakin siapa yang bakal menang. Tapi ini bagus untuk bisnis."
Straits Times | New York Times | BS