Harmoni di Pasar Ramadan  

TEMPO/Mochtar Touwe
TEMPO/Mochtar Touwe

TEMPO Interaktif, Jakarta - Pada 10 tahun yang lalu, tepatnya 19 Januari 1999, bertepatan dengan 1 Syawal 1420 Hijriah, Jalan Kesatrian di Kelurahan Amantelu, Sirimau, Ambon, yang dijadikan tempat menaikkan penumpang angkutan umum rute Batu Merah Dalam-Terminal Mardika, jadi sumber kerusuhan berkepanjangan di Maluku.

Di kawasan ini membentang Wai (Kali) Batu Merah, yang memisahkan antara Mardika dengan Desa Batu Merah, dan menjadi pintu masuk Kota Ambon. Di tempat inilah, seorang kondektur dan sopir bertikai, yang menyebabkan pertikaian antarumat beragama di Kota Ambon, hingga sekitar enam tahun lamanya.

Namun, kini kawasan tersebut berubah menjadi salah satu pusat pertemuan antarumat beragama di Ambon. Itu gara-gara kawasan ini, sejak sekitar lima tahun yang lalu, berubah menjadi pusat jajanan makanan berbuka puasa. Warga muslim maupun nonmuslim berbaur membeli berbagai macam kue maupun lauk.

Ada kolak pisang, cendol, bubur kacang hijau, es buah, ada juga kue-kue khas orang Ambon, seperti pisang asar, dodol sagu, serta kue-kue tradisional orang-orang Bugis yang berdomisili di Ambon. Selain itu, ada lauk-pauk siap saji, seperti ikan rica-rica, ikan goreng dan ikan masak, telur masak, tempe, tahu, sayur, serta acar kuning.

Sepanjang 200 meter sisi kiri Jalan Telukabessy, Mardika, dan Jalan Sultan Hasanuddin, Desa Batu Merah, dari arah Kota Ambon, menuju luar Kota Ambon, dijadikan tempat membuat lapak oleh lebih 100 penjual kue dadakan di kawasan tersebut.

Pedagang makanan berbuka itu tidak hanya berjualan dengan membentangkan meja-meja di trotoar jalan hingga jembatan, juga ada yang menumpang di rumah warga nonmuslim. Rumah milik Benhard Wellem Johannes Corputty di Jalan Telukabessy, misalnya, sejak dua tahun lalu, terasnya dipakai seorang warga muslim berjualan berbagai macam kue.

Lima meja milik Hajjah Rapiah menempati setengah teras rumah B.W.J. Corputty, hingga mepet ke dinding rumah. Ibu lima anak tersebut menempati teras rumah itu dengan perjanjian sewa-menyewa. "Berapa sewanya, saya tidak tahu. Istri saya punya urusan," tutur Corputty.

Adapun Corputty tak pernah berniat berjualan kue sehingga istrinya mau menyewakan. Menurut Corputty, setelah konflik antarumat selesai, dia sekeluarga langsung akrab dengan warga muslim. "Tidak ada apa-apa, setelah aman, langsung baikan," ujar Corputty.

Tempat jajanan berbuka tak hanya ada di kedua tempat itu, juga membentang di Jalan Sultan Babullah, di depan Masjid Raya Al-Fatah, Ambon, serta beberapa lokasi di rumah toko (ruko) Batu Merah. "Setiap tahun, penjual makanan berbuka bertambah," kata Julaeha Malang, seorang pegadang.

Makin ramainya pedagang dadakan itu tentu saja membuat keuntungan pedagang lama menurun. Nyonya Nena Tangke, yang berjualan makanan berbuka di depan Masjid Raya Al-Fatah, misalnya. Tahun lalu, ia mengaku bisa untung Rp 90 ribu per hari, kini jauh di bawah itu. "Itu pun harus berjualan sampai jam 10 malam," katanya.

Namun, bagi pembeli, makin banyaknya penjual membuat pilihan makin banyak. "Semua makanan yang kita inginkan tersedia di tempat ini," ujar Insyani yang kerap mampir di pasar Ramadan di Batu Merah atau di depan Masjid Raya Al-Fatah untuk membeli makan untuk berbuka.

Martha de Fretes, yang nonmuslim, sejak awal Ramadan, mengaku saban pulang kantor juga mampir di kedua tempat itu untuk sekadar membeli kue. "Beli sekalian untuk sarapan besok pagi agar tidak repot-repot membeli sarapan pagi," ujar ibu tiga anak itu.

MOCHTAR TOWE