Menggapai Hidayah di Masjid Lautze  

TEMPO/Adri Irianto
TEMPO/Adri Irianto
TEMPO Interaktif, Jakarta - Jarum jam melangkah teratur mendekati pukul 18.00 WIB. Sebentar lagi azan magrib berkumandang. Seorang pria Mongoloid itu agak kikuk ketika melafalkan dua kalimat syahadat. Suaranya sayup dan sedikit tersendat. Tapi kalimat itu seketika mengalir lancar ketika seorang Imam masjid menuntunnya.

"Asyhadu allaa ilaaha illallah...wa asyhadu anna Muhammadarrasuululllah. Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah," ucap Yudi Rayadi, 28 tahun.

Suasana haru menjalar. Membangkitkan memori puluhan orang keturunan Tionghoa yang hadir. "Umumnya mereka para mualaf," ujar Muhammad Ali Karim Oei, Ketua Pengurus Masjid Lautze, Jakarta Pusat, pekan lalu.

Itulah hari paling bersejarah bagi Yudi. Di hadapan puluhan orang, warga Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta Pusat, itu seolah terlahir kembali setelah menyatakan komitmennya sebagai seorang mualaf. "Agama Islam saya peluk karena petunjuk mimpi. Di hari pertama Ramadan, saya bermimpi terjebak di sebuah lorong yang sangat gelap. Entah mengapa saya sempat menyebut "Allahu Akbar", dan saat itu sebuah cahaya berpendar dari sebuah pintu," tuturnya.

Mulanya dia tidak paham. Belakangan ia meyakini mimpi itu adalah sebuah pertanda yang memandunya untuk mengenal dan memeluk Islam. "Syukur, keluarga saya cenderung memberikan kebebasan dalam memilih."

Yudi adalah satu di antara ribuan orang yang telah menjadi mualaf di Masjid Lautze. Masjid itu ia pilih lantaran di masjid tersebut kerap diselenggarakan kegiatan keislaman oleh para mualaf keturunan Tionghoa.

Masjid Lautze selalu memiliki keistimewaan bagi jemaahnya. Di sana mereka belajar tentang Islam untuk pertama kalinya. Di masjid itu juga mereka berkumpul dengan saudara mereka.

Ajang silaturahmi itu juga difasilitasi pengurus masjid lewat pengajian selama Ramadan. Uniknya, aktivitas itu hanya dirancang sekali dalam sepekan. "Hanya di hari Minggu," kata Muhammad Ali Karim Oei. Pola itu lantaran sebagian jemaah Lautze berasal dari tempat yang cukup jauh, seperti Bogor dan Bekasi. "Di hari biasa, kegiatan mereka terbentur jam kerja."

Toh, kegiatan Ramadan itu tidak hanya diikuti oleh para mualaf. Ada kalanya kegiatan itu diikuti warga sekitar dan para karyawan di sepanjang Jalan Lautze yang terjebak macet saat magrib. "Islam harus terbuka bagi siapa pun," Ali menambahkan.

Kegiatan itu dirancang mulai siang hingga malam hari. Di siang hari, jemaah dikondisikan tadarus Al-Quran bersama. Pengajian itu berakhir menjelang magrib, pada saat pengajian yang disampaikan oleh para asatidz. Memasuki waktu berbuka, jemaah disuguhi dua buah kurma dengan segelas air mineral sebelum salat magrib, lalu menyantap buka.

Ali menerangkan, pola kegiatan itu tradisi yang diterapkan di lingkungan Masjid Lautze. "Kalau di hari biasa, aktivitas masjid hanya ada untuk keperluan salat zuhur dan asar. Disesuaikan dengan jam kerja."

Tidak banyak orang yang mengetahui keberadaan Masjid Lautze. Itu karena arsitektur masjid ini tak punya kubah dan menara. Masjid di Jalan Lautze Nomor 87-89 itu tampak seperti rumah toko di kiri dan kanan. Nuansa keislaman baru terlihat saat kita memasuki bagian dalam, yang dihiasi satu mimbar dan sejumlah kaligrafi.

Para pengurus juga memajang sejumlah ornamen khas Tionghoa. Tampak dari penggunaan warna merah yang mendominasi sejumlah ruangan, seperti tempat wudu dan karpet ruangan.

Bangunan masjid terdiri atas empat lantai. Lantai dasar dan lantai dua digunakan untuk keperluan ibadah. Adapun lantai tiga digunakan sebagai kantor Yayasan Haji Karim Oei, perpustakaan, dan tempat konseling. Sedangkan lantai empat digunakan sebagai aula.

Masjid yang dirintis oleh sejumlah ulama Tionghoa ini diresmikan oleh mantan Presiden B.J. Habibie pada 1994, yang saat itu menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia. Hingga kini, Yayasan Haji Karim Oei telah memiliki dua masjid lain di wilayah Bandung dan Serpong.

RIKY FERDIANTO