TEMPO Interaktif, Jakarta - Penghasil emisi pencemar terbesar di Indonesia, ternyata berasal dari pengelolaan tata guna lahan dan kehutanan (LULUCF).
"56 persen emisi berasal dari LULUCF," ujar Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Kementrian Negara Lingkungan Hidup Masnellyarti Hilman ketika ditemui di kantornya, Kamis (1/10)
Tata guna lahan dan kehutanan ini terdiri dari pembalakan liar, kebakaran hutan dan manajemen lahan gambut. Masnellyarti menyatakan masalah tata guna lahan dan kehutanan (LULUCF) bisa ditekan jika ada intervensi. "Kami pernah menjalankan proyek di beberapa kabupaten dan berhasil menurunkan emisi hingga 80 persen," urainya.
Jadi meski penyumbang emisi pencemar yang besar, tapi kata Masnellyarti, kalau ada intervensi dari pemerintah, sumbangan emisinya bisa diturunkan.
Presiden dalam pidatonya di Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Pittsburgh, Amerika Serikat, pekan lalu, menargetkan penurunan emisi pencemar 26 persen pada 2020. Penurunan ini, Masnellyarti menjelaskan, berasal dari bauran energi dan manajemen tata guna lahan dan kehutanan.
Ia menjelaskan dalam kebijakan penurunan emisi dari bauran energi, pemerintah bisa menurunkan hingga 20 persen pada 2025 dengan optimasi penggunaan energi panas bumi, berdasarkan basis tahun 2005. "Ini tanpa penggunaan energi nuklir lho," tegas Masnellyarti. Belum lagi dari efisiensi energi. "Saya menekankan untuk energi efisiensi, karena dari sini saja bisa diturunkan hingga 20 persen emisi," urainya.
DIANING SARI