Di mata Susilo Bambang Yudhoyono, Jero kemungkinan dianggap sukses lantaran portofolio kepemimpinan Jero Wacik "menjual" sektor pariwisata laris manis. Pada 2008, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia tercatat lebih dari 6,4 juta jiwa dengan total devisa di atas angka US$ 7,5 juta.
Itu angka terbesar dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Tahun ini, Jero menargetkan kunjungan menjadi 7 juta wisatawan mancanegara hingga 2010. Di samping itu, dalam masa pemerintahannya, Jero dianggap berhasil membuat UNESCO mengukuhkan beberapa warisan asli Indonesia menjadi warisan budaya dunia.
Akan tetapi, di mata seniman, kebijakan Jero di kabinet lalu justru banyak tak memuaskan. Dari bidang perfilman, Mira Lesmana kini masih melakukan perlawanan terhadap lahirnya Undang-Undang Perfilman. Mira bersama sineas lainnya masih tetap bakal membawa undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi untuk judicial review.
"Jero Wacik bangga banget dengan produk UU Perfilman, seperti sebuah kemenangan," katanya. Menurut Mira, Jero melihat produk itu sebagai sebuah kemajuan dalam dunia perfilman. "Dia seolah mengklaim majunya perfilman Indonesia karena dia jadi menteri," kata Mira ketus. Mira menambahkan, masih ada kesempatan kedua untuk meminta pertanggungjawaban Undang-Undang Perfilman di jangka waktu kepemimpinan Jero Wacik lima tahun mendatang.
Dikukuhkannya wayang, keris, dan terakhir batik oleh UNESCO sebagai warisan dunia juga dipandang sebagian seniman belum mampu menjadi bukti keberhasilan Jero. "Usaha mempertahankan wayang, keris, dan batik bukanlah usaha Jero Wacik sendiri. Dia lebih tepatnya hanya sebagai penerus perjuangan yang tinggal menunggu hasil. Yang berjuang keras adalah pendahulunya," kata pekerja dan pemikir seni, Radhar Panca Dahana. "Jadi bisa dibilang bahwa tidak ada kemajuan signifikan terhadap kebudayaan."
Sebelum dipilih kabinet baru, beredar tuntutan dari banyak seniman dan budayawan agar kementerian kebudayaan nantinya dipisah dengan pariwisata. "SBY pernah berjanji akan memisahkan kebudayaan dengan pariwisata. Saya pikir saat pembentukan kabinet jilid dua kemarin janji itu bisa terealisasi," kata teaterawan Ratna Riantiarno. Ternyata, setelah kabinet diumumkan, kebudayaan tetap dengan pariwisata dan ada pergantian yang prinsipil. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yang semula berada di bawah koordinasi Kementerian Kesejahteraan Rakyat, kini akan berada di bawah koordinasi Kementerian Perekonomian.
Tindakan ini agaknya dipilih Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setelah melirik konsep negara seperti Singapura, Jerman, dan Amerika Serikat, yang sudah lebih dulu mengambil langkah itu. Negara-negara maju tersebut telah menerapkan konsep ekonomi-budaya yang berwatak kesponsoran yang selaras dengan pengurangan pajak.
Bagi Radhar Panca Dahana, perubahan itu mengkhawatirkan. Radhar melihat hal itu justru semakin menjerumuskan kebudayaan menjadi produk yang dimaterialkan. "Kalau begitu, kematian kebudayaan tinggal menunggu waktu," ujarnya. "Saya khawatir pelaku budaya stres dan akhirnya berakibat pada proses kreatifnya." Radhar melihat bisa jadi seniman-seniman nantinya berkreasi hanya untuk sekadar memenuhi tuntutan materialnya. "Kebudayaan kemudian menjadi barang dagangan," katanya.
Budayawan Butet Kertaredjasa sependapat dengan Radhar. "Meresahkan sekali. Dengan cara itu, budaya bakal jadi barang dagangan." Bagi Butet, keputusan itu menyalahi prinsip dasar kebudayaan sendiri. "Budaya itu sifatnya budi pekerti yang luhur," katanya.
Namun, aktivis budaya pengurus Yayasan Kelola, seperti Linda Hoemar Abidin, justru menyambut baik jalan ini. "Justru dengan perpindahan koordinasi ini, para pekerja seni budaya bisa dilibatkan secara langsung sebagai pemain ekonomi kreatif," ujarnya. Ekonomi kreatif yang dimaksud Linda adalah industri-industri kreatif berupa barang-barang kebudayaan. Makin banyak pertunjukan seni yang digelar, makin banyak juga usaha-usaha sekitar yang menjadi maju karenanya. "Contohnya saja, kalau seniman bikin pertunjukan. Sektor ekonomi level buncit di sekitarnya, seperti tukang jualan, bakal meraup untung," dia menjelaskan.
Tapi prinsip seperti itu lantang terbantahkan dalam perspektif seorang Butet. "Kalau begitu, nanti yang terjadi adalah pergeseran motivasi si senimannya," kata Butet. Dikhawatirkan seniman akan berorientasi pada provit making. Orientasi keuntungan itu, secara pelan tapi pasti, bakal melindas kesenian-kesenian di luar jalur mainstream. "Komersialisasi kebudayaan sebenarnya sudah dari dulu," ucapnya.
Akan halnya Sardono W. Kusumo, dia melihat kepentingan pergeseran koordinasi kementerian ini lebih menonjol pada sektor pariwisatanya. "Memang untuk segi pariwisata, keputusan ini tepat sekali, karena sejalan. Namun, tidak untuk kebudayaan," katanya.
Para pelaku kebudayaan agaknya mengharapkan menteri kebudayaan adalah sosok yang memiliki kehangatan terhadap peristiwa-peristiwa budaya. Dia adalah sosok yang selalu mau berada di tengah-tengah perhelatan dan perbincangan teater, tari, musik, sastra, film, festival seni tradisi, dan sebagainya. Dia adalah sosok yang antusias untuk memahami perkembangan terbaru seni kontemporer. "Bulan depan, saya bersama kawan-kawan berniat membuat festival Rendra di TIM, saya mau undang SBY dan Jero Wacik. Dari situ terlihat seberapa pedulinya mereka terhadap kebudayaan," kata Ratna.
Aguslia Hidayah