TEMPO Interaktif, Banda Aceh - Rencana Pemerintah Aceh Barat mengharamkan celana ketat bagi perempuan di wilayah itu, menjadi isu hangat pembicaraan di kantor-kantor dan warung-warung di sana. Ada yang pro dan yang kontra.
Salah seorang warga Meulaboh, Aceh Barat, Nurul mengakui isu tersebut hangat dibahas masyarakat. Banyak yang khawatir dan menilai aturan itu belum tepat sasaran. Tak sedikit juga yang mendukung. “Yang saya dengar, yang dilarang itu adalah bercelana bagi yang perempuan. Kalau itu saya tak setuju.” ujarnya.
"Kalau celana ketat yang diharapkan saya setuju, artinya masih boleh memakai celana bagi yang perempuan asal longgar. Memakai celana lebih mudah dalam aktivitas,” sambung Nurul.
Tetapi Nurul punya pandangan lain. Soal berpakaian bukanlah hal yang teramat mendesak untuk dipikirkan. Masih banyak masalah lain yang mendesak, seperti bagaimana mengurusi masalah kesehatan masyarakat, kesejahteraan warga terkait ekonomi dan juga menciptakan lapangan kerja.
Bupati Aceh Barat, Ramli MS merencanakan penerapan aturan syariat Islam terkait Qanun (Peraturan Daerah) No 11 tahun 2002 tentang berbusana muslim. “Aturan itu akan dilaksanakan sepenuhnya di Aceh Barat pada 2010 nanti. Pemerintah pusat telah memberi kewenangan bagi Aceh melaksanakan syariat Islam. Kalau tidak diterapkan kan memalukan,” ujarnya kepada Tempo, Jumat (30/10).
Aturan tersebut diakuinya bukan hal baru, sudah ada dan tinggal menjalankan saja. Juga diakui oleh Undang Undang yang mengatur tentang pemerintahan di Aceh.
Nantinya, akan dilakukan razia rutin untuk melihat dan membimbing para perempuan yang memakai pakaian ketat. Yang kedapatan akan diminta untuk menggantikan celananya dengan rok. Dalam hal ini, pihaknya juga akan menyediakan rok gratis. Ramli mengatakan sudah ada 7.000 buah rok yang disiapkan Pemerintah Aceh Barat.
Pakaian yang dilarang adalah ketat, yang bila dipakai akan menampakkan lekuk tubuh. Layaknya celana jeans yang kerap dipakai anak muda sekarang. Itupun di tempat-tempat umum. Rok kemudian disarankan, ataupun memakai celana yang longgar. “Selama ini pernyataan saya kerap dipelintir, seakan-akan semua bentuk celana dilarang. Padahal maksud saya adalah yang ketat,” ujar Ramli.
Tindakan itu diambil pemerintah Aceh Barat tidak serta merta. Pihaknya telah lebih dulu menggelar beberapa diskusi dan seminar tentang penerapan aturan tersebut. Misalnya berdiskusi dengan ulama dan elemen masyarakat. Ada dukungan, kemudian baru rencana diterapkan.
Harapannya adalah Aceh Barat menjadi pilot project pelaksaan pakaian yang sesuai syariat Islam. Dia menilai, syariat harus ditegakkan juga dalam hal berpakaian. Selama ini, banyak masyarakat di Aceh Barat dan Aceh, tidak berpakaian islami.
Menurut Ramli, aturan itu dilaksanakan sebagai uji coba dulu pada 2010, bentuk tanggung-jawabnya sebagai pemimpin di hadapan Tuhan. Maklumat akan disebarkan ke segala penjuru kampung untuk dipatuhi warga. Bentuk kontrol akan dilakukan razia oleh polisi syariat atau Wilayatul Hisbah. “Dalam penerapannya nanti, kalau masyarakat dan juga ulama tidak bisa terima alias menolak, saya sebagai pemimpin juga tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi tanggung jawab saya dengan Allah sudah selesai,” ujarnya.
Dia juga sedikit menyesalkan komentar salah seorang menteri yang mengatakan kebijakan yang akan diberlakukan di Aceh Barat, jangan ditiru oleh wilayah lain. “Saya rasa menteri itu tidak mengerti, padahal itu sudah diatur dalam undang-undang, bahwa Aceh berhak menjalankan syariat Islam,” ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris Himpunan Ulama Dayah Aceh, Faisal Ali menilai aturan yang akan diterapkan Bupati Ramli sudahlah tepat dan perlu didukung sepenuhnya oleh masyarakat dan pemerintah. “Itu tidak bertentangan dengan undang-undang yang telah memberikan wewenang ke Aceh untuk melaksanakan syariat Islam,” ujarnya.
Dalam konsep Islam, berpakaian bukan hanya menutup aurat tetapi juga tidak menampakkan lekuk tubuh bagi penggunanya. “Yang dilarang kan pakaian ketat, bukan artinya celana secara keseluruhan.”
Lain halnya dengan pandangan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Aceh Barat. Koordinator Flower Aceh Barat (salah satu lembaga yang konsen membela hak-hak perempuan), Iman Setiabudi mengatakan beberapa LSM di sana baru saja mengadakan diskusi membahas isu tersebut. “Intinya, kita melakukan pemetaan sejauh mana kebijakan penting untuk dilaksanakan,” ujarnya kepada Tempo.
Iman menilai kebijakan soal berpakaian belum perlu. Artinya bersifat individual, bukan universal. Sementara yang paling penting dilaksanakan adalah bagaimana menyejahterakan warga dulu, membenahi birokrasi di pemerintahan dan hal-hal yang menyangkut publik secara umum.
Melaksanakan syariat Islam tak hanya pakaian, tapi adalah bagaimana menciptakan iklim ekonomi yang baik, membasmi korupsi dan juga tranparansi keuangan yang dikelola pemerintah. “Misalnya transparasi pengadaan barang dengan tender proyek yang baik, membuat masyarakat tak miskin lagi, dan banyak lainnya,” ujar Iman.
Pihaknya juga ikut memberikan pemahaman kepada masyarakat Aceh Barat agar tidak terlalu serius menanggapi isu tersebut. Karena dikhawatirkan nantinya akan mengalihkan isu penting lainnya yang terkait transparansi kebijakan dan kontrol terhadap pemerintahan.
ADI WARSIDI