Exxon Mobil, penguasa pangsa minyak terbesar dunia, mengatakan pada Kamis (29/10) waktu setempat, laba perusahaan terjun bebas 68 persen menjadi US$ 4,73 miliar atau US$ 0,98 per saham. Angka tersebut turun dari US$ 14,8 miliar atau setara US$ 2,85 per saham, pada periode Juli-September tahun lalu. Tahun lalu menjadi era emas bagi industri perminyakan saat harga melambung hingga mendekati US$ 150 per barel.
Royal Dutch Shell, perusahaan minyak yang bermarkas di Belanda, menyebutkan keuntungan mereka jatuh 62 persen menjadi US$ 3,25 miliar, saat penjualan ambelas 43 persen. Shell, perusahaan minyak terbesar Eropa, mengemukakan rencana perusahaan untuk memangkas 5.000 karyawan dan meminta 15.000 karyawannya untuk mengajukan lamaran baru untuk menjadi karyawan kembali.
Divisi penyulingan minyak milik Exxon paling menderita pada periode Juli hingga September, saat laba anjlok 89 persen ketika harga gas dan disel berjatuhan. Shell, yang pendapatannya di sektor penyulingan turun 47 persen, mengatakan terpuruknya permintaan konsumen menyebabkan keuntungan bersih menyempit "dalam jangka pendek dan menengah" dan pemulihan yang cepat di sisi pemakaian energi dan harga merupakan kemustahilan.
"Saya pikir ini merupakan promosi yang bagus bahwa kondisi penyulingan ke depan tidak sehebat periode 2004 dan 2007," kata Robbert Van Batenburg, kepala riset ekuitas di Louis Capital Markets, New York, Amerika Serikat.
Harga minyak di pasar berjangka pada periode ini tergelincir hampir ke level US$ 50 per barel dari harga rata-rata tahun sebelumnya, dan harga gas alam juga merosot ke harga terendahnya dalam tujuh tahun. Harga minyak mentah rata-rata berada di level US$ 59 per barel di New York tahun ini, atau menurun ketimbang US$ 99,75 pada 2008.
Harga minyak mentah sudah naik dua kali lipat dari level terendahnya US$ 33,98 per barel pada Februari lalu sehingga menyebabkan jebloknya nilai tukar dolar yang sering dipakai sebagai mata uang resmi dalam perdagangan minyak mentah dunia.
"Jika melihat gambaran keseluruhan dari perusahaan minyak besar itu, satu hal yang benar-benar menolong mereka adalah harga minyak tidak hancur," kata John Parry, analis energi di IHS Herold di Norwalk, Connecticut. "Jalan masih terlalu panjang menuju era kegemilangan industri minyak seperti pada 2007 dan 2008."
WASHINGTON POST | BOBBY CHANDRA