TEMPO Interaktif, Padang - Pemerintah Provinsi Sumatera Barat kesulitan merelokasi 2.500 warga atau 665 keluarga yang terancam longsor di Nagari Tanjung Sani di pinggir Danau Maninjua, Kabupaten Agam. Karena terancam longsor 2.500 warga masih mengungsi, bahkan ada yang tidur di atas pondok di jala apung di Danau Maninjau.
Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Barat Firdaus K mengatakan merelokasi warga Maninjau atau melakukan transmigrasi untuk 2.500 warga adalah persoalan yang berat yang dihadapi pemerintah provinsi.
“Mereka semua harus diungsikan, karena tinggal di zona merah --zona rawan longsor--, mereka sudah diperintahkan meninggalkan kampungnya, jalan satu-satunya adalah relokasi dan transmigrasi lokal, untuk melakukan ini sangat berat sekali kalau diserahkan ke pemerintah daerah, ini harus dibantu pemerintah pusat,” kata Firdaus K, Rabu (11/11).
Saat gempa 30 September lalu di Jorong Batu Nanggai Nagari Tanjung Sani sempat terjadi longsor yang menyeret 21 rumah ke dalam danau, sebulan kemudian pada 31 Oktonber kembali terjadi longsor yang menyeret dua rumah masuk ke danau dan menimbun sebuah mesjid. Tidak ada korban jiwa, dan warga diselamatkan dengan speed boat.
Camat Tanjung Raya Kurniawan Syahputra mengatakan 2.500 warga saat ini sudah tinggal permanen di satu titik pengungsian di Jorong Sungai Batang yang didirikan pemerintah daerah dan dibantu NGO Internasional seperti IOM (International Organization for Migration) dan Oxfam. Ada juga warga yang tinggal di pondok-pondok di atas jala apung.
“Kita sedang menunggu keputusan dari pemerintah provinsi, kami sempat sudah memberi jalan keluar, pertama relokasi ke kecamatan tetangga, kedua transmigrasi lokal dan ketiga membangun rumah terapung di atas danau, karena lahan di sekeliling Danau Maninjau yang tidak rawan longsor sudah penuh pemukiman," kata Kurniawan Syahputra, Rabu (11/11).
Ia mengatakan, warga yang akan direlokasi tidak keberatan karena mereka sudah ketakutan mengahadapi ancaman longsor berkali-kali. “Kondisi mereka saat ini memang sedang susah, ada yang hanya berani kembali ke rumahnya pada siang hari, namun kalau hujan kembali lagi ke tempat pengungsian, anak-anak juga banyak yang tidak bIsa sekolah,” kata Kurniawan.
FEBRIANTI