TEMPO Interaktif, Bandung - Pengobatan massal kaki gajah di Kabupaten Bandung mengakibatkan puluhan orang harus dirawat. Selain itu, tiga orang diduga tewas akibat pemberian obat tersebut.
"Penyebab kematian masih dalam penyelidikan," kata Kepala Bidang Bina Penyehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Jawa Barat dr. Fita Rosemary, Kamis (12/11).
Menurut dia, pihaknya kini masih mengumpulkan data-data laporan dampak pengobatan massal itu. Pengobatan sendiri diputuskan untuk dijadwal ulang, dengan alasan untuk menghitung persediaan obat. "Obat anti filaria (kaki gajah) tidak menimbulkan kematian," ujarnya.
Pelaksana Teknis Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Grace Mediana mengatakan pihaknya sudah menerima laporan adanya tiga orang yang meninggal setelah pengobatan massal itu. Namun, domisili dan kasus kematiannya belum diketahui jelas.
Salah satu warga yang tewas, menurutnya, memiliki riwayat jantung. Padahal, penderita penyakit itu termasuk yang dilarang meminum obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dan Albendazol.
Grace menolak jika disebut ada kelalaian dalam kasus itu. Dia mengatakan warga itu sebelumnya tidak mengetahui punya penyakit jantung. Riwayat kesehatan itu baru diketahuinya setelah korban meninggal diperiksa dokter.
Tapi dia belum bisa menjelaskan lebih rinci kebenaran laporan yang diterimanya tersebut, termasuk daerah asal warga yang masih dirawat di sejumlah rumah sakit dan puskesmas. "Pagi ini yang dirawat enam orang, yang diobservasi 45 orang," ujarnya lewat pesan pendek.
Dia mengatakan efek samping obat anti kaki gajah umumnya menimbulkan pusing, mual, dan muntah. Orang yang dilarang meminum obat itu, antara lain anak berusia di bawah dua tahun, ibu hamil atau yang sedang menyusui, juga orang yang berpenyakit jantung, diabetes, dan darah tinggi. "Tapi kalau kondisi badan sedang merasa sehat, (obat) itu boleh diminum," katanya.
Mengutip laporan sejumlah daerah di Indonesia dan Badan Kesehatan Dunia, kata dia, tidak ada kasus korban meninggal setelah meminum obat anti-kaki gajah itu. Karena itu, pihaknya tetap menganjurkan warga memakan dua tablet tersebut. "Kalau yang dalam kondisi sakit ditunda dulu," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan Bupati Bandung Obar Sobarna mencanangkan 10 November sebagai hari dimulainya pemberian obat massal kepada 2,7 juta penduduk.
Pencanangan pemberantasan penyakit kaki gajah yang ikut dihadiri Menteri Kesehatan di RS Hasan Sadikin Bandung, 2 November lalu itu menelan biaya hingga Rp 2 miliar. Menurut Obar, wilayahnya rawan penyakit kaki gajah yang disebarkan oleh nyamuk itu. Kini tercatat ada 31 penderita yang tersebar di 15 dari 31 kecamatan.
Sementara dokter penyakit dalam RS Hasan Sadikin, Bandung, Primal Sudjana, mengatakan efek samping pemberian obat itu tidak banyak dirasakan orang. "Persentasenya hanya 1 persen dari jumlah populasi," katanya.
Efek samping yang dihasilkan oleh obat bisa berakibat mual, muntah, alergi, sampai sesak nafas. Sedangkan efek tidak langsungnya, terkait dengan filaria atau cacing kaki gajah sehingga tubuh bereaksi. "Kelenjar membesar, muka bengkak, demam, menggigil, bahkan muntah cacing atau keluar dari dubur," ujarnya.
Sakit itu umumnya dialami selama tiga hari. Pada beberapa kasus, pasien cukup hanya diberi parasetamol untuk menurunkan panas, sedangkan lainnya ada yang harus dirawat atau diobservasi di rumah sakit karena mengidap penyakit tertentu.
Dalam pengobatan massal, petugas maupun warga diminta sama-sama aktif memberitahu larangan dan riwayat sakit warga. "Sosialisasinya harus gencar dulu," ujarnya.
ANWAR SISWADI