TEMPO Interaktif, Mataram - Begitu mudahnya perceraian dilakukan di Nusa Tenggara Barat (NTB). Ada yang dilakukan "di bawah tangan"’ alias tanpa melalui prosedur pengadilan agama, tetapi ada pula yang dilakukan hanya menggunakan pesan singkat melalui telepon seluler oleh suami yang bekerja di luar negeri.
Kebanyakan perempuan yang mengalami perceraian tiba-tiba itu adalah yang buta aksara.
Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana NTB Ratningdiah mengungkapkan kelemahan perempuan di NTB tersebut kepada peserta Presstrip Humas Pemerintah Provinsi Jawa Timur di Kantor Gubernur NTB, Sabtu (21/11) siang. "Lebih banyak perceraian di bawah tangan,’’ katanya.
Kebanyakan yang menerima perlakuan perceraian tiba-tiba tersebut adalah perempuan buta aksara dan tidak tamat SD. Menurutnya, daerah Bima yang kesadaran perempuan tertinggi untuk melaporkan kasus perceraiannya ke pengadilan agama. Sedangkan yang terendah di Kabupaten Lombok Barat.
Selain itu, BPPKB NTB juga memantau adanya 3.121 perempuan buta aksara bertindak sebagai perempuam kepala keluarga (Pekka) di empat dari 119 kecamatan se-NTB. Mereka ada empat klasifikasi yaitu perempuan tidak menikah, suaminya sakit permanen, suami tidak bekerja, dan suami yang meninggalkannya (bercerai).
Setahun terakhir, 2008 angka perceraian yang dilakukan di Pengadilan Agama se-NTB sebanyak 2.121 orang. Ini termasuk laki-laki pegawai negeri sipil yang menceraikan istrinya.
Karena itu, guna mencegah terjadinya penelantaran bekas istri dan anak, Gubernur NTB Tuan Guru Haji (TGH) Muhammad Zainul Madjdi menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 30 Tahun 2009 Tanggal 30 Juni 2009 tentang Pemotongan Gaji untuk Nafkah Anak dan Bekas Istrinya. "Kalau punya anak gajinya dibagi tiga. Kalau tidak, gajinya dibagi dua. Ini yang pertama di Indonesia,’’ ucap Ratningdiah.
Ia menyebutkan, dari 4,2 juta jiwa penduduk NTB, jumlah perempuannya 52,39 persen dan laki-laki 47,61 persen. Selama empat tahun terakhir, 2005-2008, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terus bertambah.
Kalau semula hanya 567 kejadian, bertambah menjadi 580, 626, dan terakhir 1.142 orang. "Tingginya kasus KDRT disebabkan nikah usia dini. Ini sangat rentan terhadap keluarga. Sebab, selain masalah ekonomi juga mental belum siap," jelasnya.
Saat ini tengah dilakukan Training of Trainer (pelatihan pelatih) Keaksaraan Fungsional kepada 40 orang dari empat kecamatan di Lombok. Masing-masing pelatih yang buta aksara memiliki anggota 300-an orang perempuan buta aksara. "Saya miris. Tutornya saja adalah mereka yang buta aksara,’’ ujarnya.
SUPRIYANTHO KHAFID