Dia menjelaskan, bunga kredit yang tinggi menunjukkan kegagalan pemerintah menguasai dinamika di lapangan. Bunga kredit yang ditetapkan rendah oleh pemerintah berubah tinggi ketika disalurkan oleh unit penyalur seperti koperasi. Akibatnya petani harus membayar bunga kredit yang cukup tinggi.
"Kebijakan itu tak sesuai baik untuk pemerintah dan masyarakat. Perlu penataan kelembagaan," ujarnya saat dihubungi Tempo, Senin (23/11). Sementara Bank Indonesia dan perbankan, termasuk perusahaan negara telah melaksanakan fungsinya dengan benar. "Aturan sudah benar. Pada kebijakan pemerintah sudah perform," kata dia.
Salah satu jalan keluar menekan bunga kredit yaitu pemerintah menetapkan petunjuk pelaksanaan dan teknis dengan memberikan plafon kepada unit penyalur KUR agar tak menaikkan suku bunga. Plafon itu, Erani melanjutkan, bisa diambil dari pendanaan KUR.
Idealnya, bunga KUR yang diterima petani hanya 6-10 persen. Menurut dia, jumlah itu mampu membayar beban perbankan dibandingkan dengan besaran bunga komersial yang mencapai 24-30 persen per tahunnya.
Mengenai ancaman kredit macet di sektor ini, Erani menuturkan, hal itu disebabkan jenis kebijakan yang salah di masa lalu seperti tak melalui prosedur ketat, karakteristik penerima, dan kesalahpahaman pada pola pengembalian. "Kredit dianggap semacam hibah," jelasnya. Dari studi yang ia lakukan, jumlah kredit macet (non performing loan) KUR justru lebih rendah dibandingkan dengan kredit macet korporasi.
Erani berpendapat, bank swasta bisa saja masuk ke dalam penyaluran KUR selama berkomitmen dengan regulasi pemerintah. Persaingan bank swasta dengan unit penyalur seperti koperasi tak akan terjadi karena bank memiliki keterbatasan dalam menyalurkan kredit hingga daerah terpencil.
Pemerintah, menurut dia, bisa membuat regulasi agar bank penyalur KUR bekerja sama dengan unit penyalur untuk memberdayakan kemampuan koperasi dan lembaga keuangan lainnya.
RIEKA RAHADIANA