TEMPO Interaktif, Jakarta - Asosiasi Pedagang Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) mendukung impor gula kristal putih untuk konsumsi. Impor adalah solusi untuk menutupi kekurangan karena pada Januari sampai Mei tidak ada panen.
"Kita defisit gula sekitar 500 ribu ton sampai 700 ribu ton. Jadi otomatis harus impor," kata Natsir Mansyur, Ketua Apegti, Selasa (24/11).
Berdasarkan data Apegti, ia melanjutkan, stok gula saat ini hanya 500 ribu ton masing-masing berasal dari PT Perkebunan Nasional sebesar 200 ribu ton sampai Desember dan di petani 300 ribu ton.
Padahal, lanjut Natsir, jika melihat neraca gula akhir tahun harus 1 juta ton sampai 1,2 juta ton untuk stok enam bulan kedepan. "Sebab setiap bulan konsumsi gula di Indonesia mencapai 200 ribu ton," kata dia.
Menurut Natsir, harga gula impor sekarang US$ 550 per ton. Jadi, begitu sampai di Indonesia akan mencapai Rp 9 ribu per kilogram. Bila persediaan cukup dan tata kelola niaga yang baik, harga tersebut, kata Natsir, akan stabil pada tahun depan. "Tapi, kalau stok tidak ada, maka uang yang akan cari barang," kata dia. Artinya, orang mau membeli gula dengan harga tinggi.
Natsir mengkritisi kebijakan impor gula yang telah ditetapkan sebelumnya. "Kesalahan kebijakan sebelumnya membuka impor raw sugar 180 ribu ton pada PTPN," kata dia. Kebijakan tersebut dinilai Natsir sebagai kebijakan yang setengah-setengah. "Seharusnya (untuk menentukan impor) harus dihitung dulu neraca gula," ujarnya.
Bila pemerintah telah menetapkan impor gula, Natsir berpendapat, agar impor dilakukan oleh Badan Urusan Logistik (Bulog). "Sebab, Bulog sudah berpengalaman," kata dia.
Pada 2007, pemerintah menyerahkan tugas impor gula sebesar 250 ribu ton pada Bulog. Selain itu, Bulog juga dinilai mampu mengelola gula sebanyak 650 ribu ton pada 2009. "Kami juga berharap ke depan, Bulog bisa berperan sebagai penyalur gula petani dan PTPN sebesar 2,3 juta ton," kata Natsir.
EKA UTAMI APRILIA