TEMPO Interaktif, Bandung - Departemen Dalam Negeri memecat dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri Andi Azikin. Pemecatan itu terkait upaya dosen tersebut yang pernah menggugat lima praja atas pembunuhan seorang tukang ojek pada 2007. Andi dan kuasa hukumnya meminta surat keputusan pemecatan itu dicabut.
Menurut Andi, ia telah mengirim surat keberatan atas pemecatan dirinya sebagai dosen kepada Rektor IPDN I Nyoman Sumaryadi. Tembusan surat juga dialamatkan ke Presiden RI, Menteri Dalam Negeri, Komisi II DPR RI, Komnas HAM, dan Tim Evaluasi dan Reformasi IPDN.
"Pemecatan saya tersebut adalah sebuah kezaliman penguasa kepada aparatnya," kata dosen Ilmu Pemerintahan IPDN itu, Minggu (29/11).
Surat pemecatan tertanggal 3 September yang ditandatangani Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri itu berlaku sejak 1 September 2009. Andi sendiri mengaku baru mengetahuinya 18 November lalu ketika akan mengusulkan kenaikan pangkat dan jabatan. "Pemecatan itu atas rekomendasi Rektor IPDN," ujarnya.
Dalam surat itu, ujarnya, Depdagri menilai Andi melakukan penyalahgunaan kewenangan dan subordinasi dengan Rektor IPDN. "Pemecatan itu pasca-aktivitas saya melakukan class action atas meninggalnya tukang ojek Wendy Budiman di Jatinangor Town Square," jelasnya.
Baca Juga:
Bersama Forum Komunikasi Reformasi Pamong Praja, ia yang duduk sebagai sekretaris jenderal di forum itu, menggugat lima praja yang terlibat dalam kasus pengeroyokan pada 2007 itu. Kasusnya sempat disidangkan, namun ia mengaku tak tahu hasil keputusan hakim.
Selama proses pengadilan, ia mengaku ditekan pihak Depdagri agar mencabut gugatan kasus tersebut. Setelah itu, ia beberapa kali diperiksa oleh Inspektorat Jenderal Depdagri. "Kemudian muncul sanksi bertubi-tubi, tapi saya tak pernah tahu sampai mau mengurus kepangkatan (November) lalu," ujarnya.
Sanksi yang sempat dirasakan antara lain penarikan beasiswa program doktoral Ilmu Pemerintahan di Universitas Padjadjaran yang dimulainya pada 2006. Beasiswa itu dicabut tahun lalu. "Pas mau ujian, saya tidak bisa terus karena nggak ada biaya," katanya. Selama dua semester terakhir, ia juga telah dilarang mengajar.
Kepada para pihak yang disuratinya, Andi meminta agar surat keputusan pemecatan itu dicabut. Alasannya, keterlibatannya dalam gugatan kasus meninggalnya tukang ojek oleh keroyokan praja atas nama pribadi, bukan sebagai dosen IPDN. Jika itu dijadikan alasan pemecatan, ia mempertanyakan upaya reformasi di lembaga pendidikan pamong praja itu.
Andai permintaannya tak digubris, ujar dia, kuasa hukumnya bersiap mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Sejauh ini ia masih menunggu tanggapan dari Rektor IPDN atas suratnya. "Tanggapan sesuai aturan, harusnya disampaikan setelah tiga hari setelah surat keberatan, mungkin besok," katanya.
Rektor IPDN I Nyoman Sumaryadi lewat pesan pendek menyatakan proses pemecatan Andi Azikin sudah lama berlangsung sebelum dirinya menjabat sebagai Rektor kembali. "Proses tersebut hasil pemantauan oleh Itjen dan Setjen Depdagri, saya belum mendalami kasusnya," ujarnya. IPDN hanya melaksanakan atau mengeksekusi kebijakan atasan.
Menurut Nyoman, kasus pemecatan Andi ini menjadi pelajaran berharga bagi para pendidik agar dapat menjadi teladan bagi peserta didik. "Dalam bertindak, berpikir, dan berbicara berdasarkan kode etik, serta etika pemerintahan," katanya.
Nyoman juga mengaku tidak mengetahui persis upaya pembelaan IPDN agar Andi tidak dipecat. "Saya tidak tahu. Ketika prosesnya zaman kepemimpinan Pak (Johannes) Kaloh dan Bu Ngadisah, apakah ada pembelaan atau tidak," katanya.
Pastinya, kata Nyoman, setelah menjabat kembali sebagai Rektor IPDN, keputusan menteri sudah ada, kemudian disampaikan oleh para kepala biro yang bersangkutan.
Sebelum Andi, dosen yang rajin mengungkap kasus-kasus di barak mahasiwa di Jatinangor, Sumedang, itu, Inu Kencana, juga telah dipecat pada 2007 lalu. Menurut Inu, ia dipaksa berhenti mengajar karena umurnya sudah tua.
"Padahal saya pegawai fungsional dan sekarang 57 tahun. Sesuai aturan bisa mengajar sampai 65 tahun, lagipula banyak dosen yang lebih tua dari saya tidak dipecat," katanya.
Sejak itu, ia dilarang mengajar dan diusir paksa dari rumah dinas. "Kuncinya masih ada sama saya," katanya. Ia pun mengaku tak mendapat uang pensiun walau telah mengurus ke berbagai instansi. "Saya diejek sebagai pengkhianat almamater," ujarnya.
ANWAR SISWADI